Apa Lawan Murah Hati?
Murah hati adalah sebuah ungkapan
yang sering ditujukan kepada orang yang melakukan kebaikan. Jika seorang
melakukan kebaikan, orang itu disebut orang yang murah hati. Namun yang menjadi
pertanyaannya, apa lawan dari murah hati. Apakah lawannya Mahal hati? Ah, kayak
ibu-ibu di pasar saja yang lagi menawar sayuran, hehehe. Kebanyakan orang
memberikan makna yang berlawan dengan murah hati ialah iri hati, tinggi hati,
kebencian dan lain sebagainya.
Jika melihat kedua tindakan antara
murah hati dan lawannya ( iri hati, tinggi hati, kebencian dll), maka seseorang
yang tidak melakukan kebaikan (baca:murah hati) pasti akan melakukan tindakan
yang menjadi lawannya. Benarkah demikian? Untuk itu kita perlu melihat suatu
kasus di dalam Alkitab untuk dipelajari bersama. Bagian yang akan dipelajari
adalah Lukas 10:25-37.
Bagian ini merupakan sebuah
perumpamaan yang diberikan Yesus kepada
seorang ahli Taurat. Dari perumpamaan
inilah terdapat sebuah kasus yang harus dipahami oleh pendengar pada waktu itu.
Perumpamaan biasanya hanya menekankan satu inti pesan kepada pendengar yang
ada, dan Yesus mencoba untuk
menyampaikan secara baik. Dari cerita tersebut Yesus mengunakan metode “Studi
Kasus”. Perumpamaan yang diceritakan Yesus merupakan sebuah studi kasus.
Dengan pendekatan ini Yesus menggariskan seluk-beluk salah satu kasus dan
mengundang para pendengar-Nya memanfaatkan akal dan imannya. Mereka didorong
untuk memikirkan inti persoalannya dan bagaimana memecahkannya.
Menurut Ruth Kadarmanto[1],
metode Studi Kasus adalah sebuah kisah atau uraian tentang satu masalah yang disajikan
kepada kelompok untuk dianalisis, diolah dan mengusulkan pemecahan. Kepada
mereka diberikan pertanyaan-pertanyaan menolong agar percakapan menjadi terarah
dan tidak ngawur.
Untuk itu, sebelum kita melihat
tokoh-tokoh yang ada dalam cerita tersebut, sebaiknya kita juga menempatkan
diri dalam posisi seorang ahli Taurat yang menerima penjelasan dari Yesus.
Dalam kisah yang sudah sering kita baca itu terdapat tiga peran setelah seorang
dirampok. Tokoh yang pertama ialah seorang imam. Siapakah imam, dan apa
tugasnya? Gambaran imam secara singkat adalah orang yang ahli dalam soal-soal
ibadah. Untuk itu diperlukan pengetahuan khusus. Ia memberi bimbingan dan
putusan-putusan mengenai soal-soal upacara keagamaan dan hukum. Apalagi kalau
ada kasus hukum yang berat. Ia adalah pelaksana dan penganjur pelaksanaan hukum
Allah. Ia adalah bapa dan penasehat umat Allah.[2]
Tokoh yang kedua ialah seorang
Lewi. Siapakah orang Lewi dan apa tugasnya waktu itu? Gambaran singkatnya, kaum Lewi ialah kelompok yang membantu bertugas di Bait Allah. Tugas orang Lewi
adalah menjadi rombongan penyanyi dan pemain musik, membantu para imam dan
menjadi penjaga.[3]
Tokoh yang ketiga, dan yang
terakhir, sekaligus menjadi klimaks dari cerita ini ialah orang Samaria. Tokoh
ini menjadi teladan dalam cerita ini, namun siapakah orang Samaria?
Orang-orang Samaria adalah penduduk wilayah Palestina bagian utara. Wilayah itu
dahulu adalah wilayah kerajaan Israel utara. Sejak abad 6 S.M ada pertentangan antara
orang-orang Samaria itu dengan orang-orang Yahudi yang bertempat tinggal di
wilayah Yudea. Pertentangan itu berlangsung terus sampai pada zaman Perjanjian
Baru. Pada akhirnya orang-orang Samaria itu dianggap kafir oleh orang-orang
Yahudi.[4]
Dari gambaran di atas kita
melihat bahwa Yesus ternyata memilih orang Samaria untuk menggambarkan kasih
dan ajaran-Nya. Yesus yang adalah seorang Yahudi memakai orang Samaria yang
dianggap musuh oleh orang Yahudi untuk menggambarkan praktek kemurahan hati
itu. Ini adalah inti pesan dari ceriita “Orang Samaria Yang Murah Hati”. Namun
yang ingin dibahas lebih mendalam adalah peran seorang imam dan seorang Lewi.
Dari kisah tersebut nampak jelas
bahwa Yesus tidak memilih seorang imam atau pun seorang Lewi sebagai contoh
dalam melakukan kebaikan. Sikap yang digambarkan Yesus dalam kisah tersebut
ialah kedua orang itu merupakan orang yang tidak peduli dan acuh tak acuh. Banyak yang menafsirkan kisah itu
dengan mengatakan kedua orang itu sedang terburu-buru ingin melakukan tugasnya
di Bait Allah. Sebagian lagi mengatakan bahwa kedua orang itu tidak ingin
menolong karena mereka juga takut dirampok dan dipukuli; takut membahayakan
jiwa mereka. Jelasnya Alkitab menceritakan bahwa kedua orang itu tidak peduli.
Keadaan terpuruk dari yang dirampok itu dilewatinya begitu saja. Respon dari
seorang imam ialah “melewati dari seberang jalan” (ay 31). Seorang Lewi pun
demikian, “melewati dari seberang jalan” (ay 32).
Jika demikian, apa lawan dari
murah hati? Iri hati kah, tinggi hati kah, kebencian, atau apa? Jelas, dari
perumpamaan yang dikisahkan Yesus tidak diceritakan tentang respon dari seorang
imam atau pun seorang Lewi yang membenci kepada korban perampokan atau tinggi
hati, apalagi iri hati. Orang sudah sekarat kok masih dibenci, sudah dirampok kok
kedua orang itu masih iri? Kayak orang nggak waras aja !
Dari respon kedua orang ini ialah
dapat dijawab bahwa lawan dari murah hati bukan membenci, iri hati, atau tinggi
hati, apalagi mahal hati (hehehe tambahan sendiri). Lawan dari murah hati ialah
sikap apatis. Sikap apatis ialah acuh tak acuh dan tidak mau peduli dengan
orang lain. Sikap ini biasanya dianggap sikap yang netral (status quo) untuk
tidak menentukan pilihan antara berbuat baik dan berbuat jahat; antara mengasihi
dan membenci; antara murah hati dan tinggi hati. Justru sikap inilah yang
paling berbahaya diantara kedua pilihan ekstrim di atas. Kedua tokoh menjadi
apati pengamat[5]
dalam kisah tersebut.
Dari kisah di atas memberikan pelajaran bagi
kita untuk menghindari sikap tersebut sebagaimana yang dikisahkan Yesus. Yesus
menyuruh ahli Taurat dalam diskusi itu untuk meniru perbuatan dari orang
Samaria dalam perumpamaan itu, dan bukan menjadi seorang apati pengamat seperti
kedua tokoh yang bertugas di Bait Allah itu.
Tidak ada posisi netral sebagai
seorang Kristen. Jika mengetahui yang baik, lakukanlah itu. Banyak yang menilai
seseorang melakukan dosa karena orang itu “melakukan” sesuatu perbuatan yang
tidak baik, tetapi tidak melihat karena orang “mengabaikan” sesuatu yang
seharusnya dilakukannya. Sebagaimana yang dituliskan dalam Yakobus 4:17 “ Jadi
jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak
melakukannya, ia berdosa".
[5] Sebuah istilah psikologi yang
dikenakan kepada orang yang hanya mengamati sebuah peristiwa tanpa mau
melakukan aksi.
[4] Ibid hlm 338-339.
[3] Ibid hlm 324.
Komentar
Posting Komentar