Penggunaan Alat-alat Elektronik Dalam Ibadah Gereja (by Van Dop/ H.A Pandopo)
Penggunaan peralatan
elektronik canggih dalam gereja-gereja di Indonesia telah berkembang dengan
pesatnya. Tentunya generasi muda sangat menyukai dan meminatinya: kita tidak
ketinggalan zaman, kita ikut modernisasi global. Dengan itu generasi muda
kerasan dalam gereja, apalagi kalau mereka sendiri menanganinya serta
bereksperimen dengannya. Sound system memang
penting dalam ibadah gereja, asal ditangani dengan pengetahuan dan keterampilan
yang prima. Suara para pelayan liturgi harus dapat didengar dengan jelas tanpa
distorsi akustis. Untuk itu diperlukan mikrofon-mikrofon dan speaker-speaker
yang dapat diandal-kan. Peralatan kerkualitas tinggi pasti mahal, tetapi sangat
bemanfaat bagi umat yang hadir.
Namun ada beberapa
aspek dari penggunaan elektronik yang mengundang masalah-masalah, kalau tidak
dikendalikan dengan bijaksana.
a. Ada
yang berpikir bahwa pidato dan musik di gereja baru menjadi mengesankan,
apabila suaranya sekeras mungkin (membantu Roh Kudus?). Tidak jarang bunyi
musik begitu keras di dalam gereja, sehingga puluhan meter di luar gedung masih
tetap kedengaran dan mungkin mengganggu orang lain (demi kesaksian dan
pekabaran Injil?). Maka, menurut saya, ada alasan untuk meng-undang tiga pakar:
1) ahli akustik yang mengukur jumlah decibel yang dipakai; 2) dokter THT yang
menilai apakah jumlah decibel itu tidak membahayakan bagi pendengaran. Dewasa
ini sudah banyak anak muda yang pendengarannya serius terganggu oleh bunyi
musik yang terlalu keras melalui speaker (di disco atau di gereja atau melalui
head-phone); 3) ahli sosiologi yang meng-adakan penelitian terhadap kesabaran
dan daya tahan masyarakat di sekitar gedung gereja yang bersangkutan (“kapan
gereja akan dibakar?”). Juga apabila gereja itu kedap suara, laporan dan
nasihat dari ahli 1) dan 2) tetap perlu diperhatikan.
b. Kalau bunyi iringan
musik terlalu keras, maka suara nyanyian umat tenggelam di dalamnya: para
anggota sudah tidak sempat lagi mendengar suaranya sendiri, apalagi menikmati keseluruhannya.
Ada yang oleh kerena itu sudah tidak ikut menyanyi lagi. Kita harus waspada
terhadap ‘teror sound system’, entah dari atas menara, dari mimbar atau dari
‘singers’ serta seksi pengiring instrumental yang dirajai oleh kibor. Umat yang
hadir itu bukan bawahan dari diktator akustik, seakan-akan mereka adalah
kawanan robot yang harus didril dan diprogram seperti tentara di Korea Utara:
suara hati dan mulut mereka dibungkamkan, tak usah didengar.
c. Juga
rhythm-box merupakan fasilitas elektronik. Bagus untuk bekenalan dengan aneka
ragam ritme, untuk belajar membuat komposisi, membantu untuk membuat rekaman
lagu-lagu pop (sekalipun perkusi yang live jauh lebih bagus). Namun, apabila
nyanyian umat diiringi oleh organ atau kibor yang terus memakai kotak birama
itu, maka semua nyanyian bersama mungkin menjadi ramai, tetapi tidak hidup lagi:
nyanyian itu dipaku mati dengan ketukan yang tetap dan tidak ikut bernafas,
tidak mengenal release, tidak bisa dimunuendo atau memperhatikan fermata, tidak
tahu cesura (pembatas bagian-bagian lagu) seperti layaknya dalam komposisi
berseni – hanya tahu 4 ketuk dan 3 ketuk, sehingga lagu yang berbirama bebas
atau yang berbirama 5 dan 8 ketuk tidak dapat diiringi lagi (6 dan 9 ketuk
sudah meleset); sedemikian juga birama bebas (berkelompok biner + terner,
seperti dalam Mazmur Jenewa), apalagi pendarasan Psalmodia. Akibatnya, banyak
lagu yang bagus tersingkir dari repertoar nyanyian gereja, sebab para pengiring
tidak mampu menyelenggarakannya. Lagu-lagu etnis pun (kalaupun masih dihargai)
terancam rusak oleh praktek seperti itu dan akhirnya punah, betapapun bagusnya.
d. Sama
halnya kalau pengiring (pemain organ atau kelompok band) tidak memakai
rhytm-box, tetapi membiarkan dirinya sendiri menjadi mesin ketukan yang
menekankan semua aksen menjadi sama, termasuk aksen ringan
(‘satu-satu-satu-satu’), sehingga si peng-iring itu menjadi peng-giring yang
memasung nyanyian umat dalam kungkungan otomat yang tidak manusiawi lagi. Tidak
kedengaran lagi perbedaan antara intro, lagu umat dan interlud (yang sebetulnya
tidak diperlukan jika setiap bagian nyanyian diakhiri dengan wajar) karena
‘kereta api’ itu tidak berhenti di ‘halte-halte’ dan ‘stasiun-stasiun’. Maka
umat juga tidak sempat memperhatikan batas-batas dan tidak jarang kurang
menyadari bahwa nyanyiannya sudah mulai, sehingga baru ikut ‘naik kereta’
beberapa suku kata sesudah ‘halte’ telah dilewati. Itu bukan kesalahan umat,
melainkan kegagalan pengiring yang belum belajar ikut bernafas dengan nyanyian
umat.
e. Ada
yang berpendapat bahwa semua musik dewasa ini harus memakai ritme perkusi,
entah perkusi elektronik atau perkusi alami. Tetapi belum pernah saya mendengar
adanya keberatan kalau musik film atau sinetron menggunakan musik lain yang
mendukung suasana (lembut, romantis, dahsyat dst) tanpa paksaan ritme. Musik
ritmis tentu berguna untuk dansa-dansi, tetapi tidak seluruh hidup bersifat
tari menari. Ada juga jenis-jenis musik lain yang perlu kita pelihara, demi
sekian aspek ekspresi hati dalam nyanyian. Semoga para pengiring nyanyian umat
menekuni segala macam ekspresi musikal yang mendukung jiwa lagu yang ingin kita
sukseskan bersama-sama.
Seyogyanya pengiring
turut bernafas dengan wajarnya bersama-sama dengan jemaat yang bernyanyi,
sehingga permainan instrumental mengikuti nyanyian itu – dan tidak sebaliknya:
seolah-olah umat harus mengikuti bunyi instrumen yang disalahgunakan.
Mudah-mudahan kita masih sempat membebaskan diri dari perbudakan musikal oleh
berhala elektronika. Mikrofon dan speaker
adalah alat-alat bantu yang yang sangat bermanfaat, asal bantuannya jangan
berlebih-lebihan. Kalau bantuan berubah menjadi pemaksaan, maka tujuan praktis
dari elektronika sudah dilampaui.
Ada yang menganggap
suara artifisial lebih bagus dari pada suara alami. Apakah kita memang lebih
pandai dari pada Pencipta alam semesta, yang membentuk alat pendengaran kita
secara efisien dan memadai? Bagaimanapun juga, bunyi yang diperkeras dengan
peralatan elektronik pasti ada distorsinya. Lagi pula jumlah Herz-nya agak
terbatas dan tidak meliputi feedback dari lengkapnya getaran harmonik alam yang
banyaknya sampai pangkat ᴺ, tak terbatas. Pendek kata: gelombang-gelombang suara
alam menghasilkan suara yang paling komplit dan paling bagus, Gendang-gendangan
telinga kita pas untuk menangkapnya. Kalau kita tuna rungu, yah, kita
memerlukan alat bantu elektronik; kalau ruangan besar, pembicara memerlukan
mikrofon dan sound system. Tetapi hanya para diktatorlah yang menyalahgunakannya
dengan membuka volumenya sampai proporsi apokaliptik yang menakutkan. Apa
memang itu yang kita inginkan dalam ibadah gereja?
Apa benar bahwa suara
setiap penceramah, pengajar, pembaca dan pembawa renungan harus diperkeras,
sekalipun dalam ruangan yang relatif kecil? Jauh lebih baik kita berlatih
menggunakan alat-alat bicara kita sendiri seoptimal mungkin dengan menguasai
dukungan nafas (jangan suara kita anjlok menjelang akhir kalimat), merawat
suara, memakai ronga-rongga resonansi, memelihara artikulasi serta mendalami
seni retorika, yaitu agar supaya pesan-pesan kita benar-benar sampai kepada
para pendengar. Apabila pengeras suara sebenarnya tidak diperlukan, mengapa
kita masih tetap kegandrungan memakai sound system di ruang yang relatif kecil?
Hanya untuk mengikuti ‘zaman modern’ dan jangan dianggap orang ‘jadul’?
Ada lagi suatu
penyakit sehubungan dengan penggunaan sound system dalam ibadah gereja.
Mikrofon tidak hanya ada di depan pengkhotbah di atas mimbar, tetapi juga di
depan lektor di mimbar kecil, lagi pula di depan pemimpin nyanyian dan para
‘singers’. Maka terjadi suatu kompetisi yang membingungkan: kalau pemimpin
nyanyian (dirigen umat, prokantor) sedang berfungsi, terjadi persaingan dari
pihak lain. Apa semua dengan suara masing-masing memimpin serempak? Siapa yang
memimpin? Kalau pengkhotbah serta pembaca ikut menyanyi tanpa mundur secukupnya
dari mikrofon, maka efeknya adalah bahwa ada tiga pemimpin sekaligus. Dua atau
tiga kapten di kapal yang sama bisa membahayakan: jangan sampai kapal itu
keliru haluan dan tidak akan sampai ke pelabuhan. Bisa jadi pengkhotah atau
pemabaca dengan suara kerasnya salah nyanyi dengan tidak memperhatikan not,
ritme dan tanda diam….. Maka pemimpin nyanyian menjadi kewalahan! Jika
pengkhotbah atau pembaca tidak mau mundur dari mikrofon (setengah meter ke
belakang atau ke samping mungkin sudah cukup) oleh karena ia ingin mendengar
suaranya sendiri, maka operator sebaiknya mematikan mikrofonnya untuk
sementara. Yang bersangkutan tidak usah marah-marah, sebab ia memang tidak
ditugaskan untuk menjadi pemimpin nyanyian. Juga dalam hubungan ini nasihat
dari rasul Paulus dalm 1 Korintus 14: 40 bukanlah tanpa alasan!
Tugas utama pemimpin
nyanyian ibadah ialah menuntun nyanyian umat bersama-sama dengan paduan suara
dan solis-solis. Kadang-kadang ia memerlukan mikrofon, tetapi itu tak perlu
bagi lagu-lagu yang sudah cukup dikenal oleh umat dan ternyata dapat
diselenggarakan dengan tepat. Itu juga berlaku bagi para ‘singers’. Kerapkali
‘singers’ itu terlalu mendominasi nyanyian umat, sehingga keindahannya hilang.
Juga anggota umat yang sakit atau lanjut usia, yang mengikuti ibadah gereja
melalui radio, sistem telefon atau rekaman, lebih senang mendengar nyanyian
umat ketimbang suara para solis yang mengganggu nyanyian umat itu. Dan tentunya
ini berlaku untuk semua orang yang kebetulan menyaksikan ibadah gereja melalui
media komunikasi massa. Para penyanyi di depan mikrofon perlu menyadari bahwa
fungsi mereka (sama seperti fungsi sound system) adalah melayani dan bukan
merajai.
Selamat menggunakan segala alat bantu elektronik
secara proporsional!
Komentar
Posting Komentar