PENGIRINGAN INSTRUMENTAL NYANYIAN IBADAH ( By: Van Dop/ H.A Pandopo)
A Capella
Atau Dengan Iringan Instrumental
Di dalam Alkitab
terdapat keterangan bahwa nyanyian ibadah di Bait Allah diiringi dengan
alat-alat musik. Ini dapat kita baca pada banyak Mazmur (yang paling jelas: Mazmur
150) dan di tempat-tempat lain, misalnya
1 Tawarikh 25: 6-8. Namun, sesudah Bait Allah di Yerusalem diruntuhkan dan umat
beribadah dibuang ke Tanah Babel, kita baca dalam Mazmur 137, bahwa “kita
menggantungkan kecapi kita kepada pohon-pohon gandarusa di tempat itu”, yakni
di tepi sungai-sungai Babel. Di sana umat berkumpul di sinagoga dan tidak
memainkan alat musik lagi untuk mengiringi nyanyian sukacita mereka, bukan oleh
karena mereka tidak menyukainya, melainkan oleh karena mereka begitu menyukainya,
sehingga mereka berkabung atas kehancuran Yerusalem dan Bait Kudusnya. Maka
untuk selanjutnya, sampai sekarang ini, di sinagoga-sinagoga ortodoks tidak ada
alat-alat pengiring nyanyian.
Sedemikian juga di
Gereja selama 1000 tahun lebih: semua nyanyian dilagukan tanpa iringan. Sampai
sekarang ini Gereja-gereja Ortodoks Timur tidak menggunakan pengiringan
instrumental untuk nyanyiannya, seperti misalnya dalam Gereja Ortodoks
Indonesia di Jakarta: kunjungilah Gereja itu dan belajarlah tentang hakikat Gereja
dan ibadahnya (ternyata ada daya misionernya: kawula muda pun tertarik). Bahkan
dalam agama Islam tradisi itu diteruskan pula: dalam mesjid tidak ada organ,
piano, kibor, band, drum set dsb. Apakah musik ramai di sementara gereja-gereja
Protestan mempunyai daya misioner?
Pengiringan
Dengan Alat Musik dan Para Pemainnya
Penggunaan alat-alat
musik dalam ibadah gereja sebetulnya belum begitu lama. Di kebanyakan gereja
baru beberapa ratus tahun. Pada zaman para reformator Gereja, baik Luther
maupun Calvin, nyanyian jemaat diselenggarakan tanpa iringan orgel. Orgel-orgel
memang sudah ada di beberapa gedung gereja di kota-kota besar, tetapi ukurannya
masih agak kecil, sehingga bunyinya kurang kuat untuk mengiringi nyanyian orang
banyak. Luther menyetujui musik orgel dalam gereja, misalnya untuk mengiringi
paduan suara pemuda. Calvin tidak menyetujuinya, rupa-rupanya oleh karena para seniman
pemain orgel waktu itu agak mirip dengan pemusik di pasar malam. Andaikata
Calvin sempat mengalami perkembangan orgel (dan organis) selanjutnya, ia
mungkin sangat mendukung penggunaannya sebagai alat pengiring nyanyian bersama.
Tetapi, andaikata beliau menghadiri ibadah Protestan di Jakarta, mungkin saja
ia menggeleng-geleng kepala, begitu juga Martin Luther.
Pada zaman Reformasi
dan cukup lama sesudahnya, nyanyian umat dipimpin oleh para ahli nyanyian yang
disebut ‘chantre’, ‘cantor’, ‘precentor’ (di Indonesia belakangan ini disebut ‘prokantor’),
yakni suatu fungsi dalam ibadah gereja yang diwarisi dari tradisi Yahudi dan
Gereja Lama sepanjang segala abad. Semoga fungsi itu kita pelihara terus dan
kita tingkatkan sesuai dengan statusnya yang sebenarnya (bukan pemusik kelas
dua). Fungsi
‘prokantor’ itu lama-kelamaan digeser oleh para organis. Sayangnya banyak
organis terlalu amatiran, sehingga nyanyian umat tidak diselenggarakan seperti
semestinya. Oleh karena itu nyanyian umat kurang disenangi oleh angkatan muda.
Tetapi apabila kita mendengarkan rekaman dari acara ‘hymn singing’ (nyanyian
umat) di Gereja Anglikan, kita menjadi sangat tertarik, karena bermutu tinggi
dan diselenggarakan dengan gemilangnya. Untuk menyelamatkan
nyanyian umat di gereja-gereja kita dewasa ini, perlu kita membentuk
kader-kader pengiring instrumental yang pandai dan terampil.
Para pengiring
(organis, pianis, kibordis, anggota band dst) perlu memahami ciri-ciri khas nyanyian
gereja. Peng-iring-an tidak sama dengan peng-giring-an. Alat pengiring mengabdi
pada nyanyian umat, tidak memaksa. Para pengiring harus ikut bernafas dengan
umat yang bernyanyi. Pengiring instrumental harus bisa berhenti pada akhir bait
dan di antara bait yang satu dan yang berikutnya. Ia harus memiliki
keterampilan yang diikutsertakan dengan ‘psikologi nyanyian bersama’, sehingga
ia sanggup menuntun dengan baik. Jemaat itu bukan orang-orang bodoh yang kurang
mampu. Yang bodoh adalah pengiring yang belum menguasai teknik pengiringan. Tidak
jarang nyanyian jemaat tanpa iringan diselenggarakan dengan lebih wajar, asal
jangan ‘dipandu’ oleh seorang ‘mikrofonis’ (termasuk pendeta dan pemimpin
nyanyian) yang tidak tahu bahwa titik dan nol mempunyai nilai dan perlu
diperhitungkan (tidak hanya dalam perhitungan gaji). Not panjang (berapa titik)
dan tanda diam (berapa panjang) di akhir baris jangan diabaikan. Nyanyian
jemaat menjadi tergesa-gesa, tidak stabil, kurang khidmat, kalau pemimpinnya
(prokantor, organis, pianis, kibordis) tidak bisa menghitung.
Otomatisme
Yang Mematikan
Ada pengiring yang
menggunakan ‘rhythm-box’ yang terdapat pada organ elektronik dan kibor.
Rhythm-box itu adalah sebuah otomat/robot yang tidak ikut bernafas, tidak
mengenal jiwa nyanyian, tidak bisa berhenti pada akhir setiap bait nyanyian,
tidak tahu attack dan release, tidak mungkin melaksanakan ritardando atau fermata,
tidak membedakan birama 3 ketukan dari 6, 9 atau 12 ketuk. Tidak mampu
mengiringi lagu berbirama bebas seperti Mazmur Jenewa, apalagi memproduksi
birama 5 ketuk (KJ 180) serta 7, 8, 10, 11 ketuk … Maka banyak nyanyian dari
kekayaan tradisi gereja terancam punah oleh karena tak dapat dituntun oleh alat
pengiring.
Ada juga pengiring
yang sendiri menjadi otomat: sekalipun tidak memakai rhythm-box, ia tetap
menekankan setiap ketukan (seolah-olah birama nyanyian itu hanya satu ketuk saja).
Ia juga tidak berhenti di akhir bait dan di akhir intro atau interlud. Maka
jemaat susah meramalkan kapan nyanyiannya mulai, sehingga sering baru mulai
menyanyi pada suku kata kedua atau ketiga. Ia masih harus belajar bahwa ada
perbedaan antara ketukan pertama dan ketukan berikutnya: ada yang kuat, ada
juga yang lemah atau sedang. Pada not panjang, ketukan hanya perlu diingat
‘dalam hati’, tak perlu ‘dipukul’. Tidak jarang setiap nyanyian gereja menjadi
seperti mars militer (tu-dwa-ga-pat): “Su-ci, su-ci, su-hu-ci-hi Tu-han
Ma-ha-kua-ha-sa-ha, Di-kau ka-mi pu-hu-ji di pa-gi yang te-du-hu-hu-hu”. Cara
mengiringi itu mencabut nafas hidup dari nyanyian gereja.
Jumlah
Decibel Yang Terlalu Besar
Ada pengiring dan
operator sound-system yang berpendapat bahwa bagus adalah sama dengan sekeras
mungkin. Kasihan musik gereja dulu-dulu, seperti misalnya musik Bach, belum
bisa benar-benar bagus, karena tidak pakai pengeras suara. Tidak perduli kalau
ada orang di gereja yang tidak tahan mendengar musik keras itu. Ada bukti bahwa
alat pendengaran dari banyak orang muda sudah rusak oleh sound yang tak
terkendali di disco atau melalui head-phone. Rasanya aneh kalau ada yang
berpikir bahwa pesan Roh Kudus baru meyakinkan apabila memakai suara menggelegar
seperti guntur, sedangkan nabi Elia
malah justru bertemu dengan Tuhan dalam kesunyian, teriring “bunyi angin
sepoi-sepoi basa” (1 Raja-raja 19: 12).
Di Gereja Katolik ada
peraturan tentang jumlah decibel yang pantas. Orgelnya pun berbunyi sopan:
cukup keras untuk dapat didengar dan untuk mengiringi nyanyian – tidak lebih
dari itu. Di gereja-gereja Protestan tidak atau belum ada peraturan tentang
penggunaan sound-system. Kebanyakan orang menerima saja kemauan sesama anggota
gereja yang senang dengan bunyi keras karena takut dianggap ‘jadul’ dan
‘gaptek’, alias kurang ‘modern’.
Tidak sedikit anggota
jemaat tidak ikut bernyanyi lagi, karena kerasnya bunyi musik pengiring
mengakibatkan mereka tidak lagi bisa mendengar suara mereka sendiri, apalagi
suara seluruh jemaat bersama-sama. Nyanyian bersama (community singing) mempunyai
keindahan tersendiri yang gampang hilang apabila digilas oleh musik pengiring
yang kelewatan kerasnya. Paling repot kalau para pemimpin gereja sendiri
mempropagandakan musik hingar-bingar seperti itu, entah demi ‘modernisasi’,
atau untuk mengikuti selera generasi muda, atau untuk mencari popularitas.
Bagaimanapun juga, kalau musik di gereja tidak berkualitas, entah musik kuno,
tradisional etnis atau ‘kontemporer’, daya tariknya lekas sirna: musik klasik,
musik daerah, musik pop di luar gereja jauh lebih bermutu! Mana ada orkes
simfoni yang setiap instrumennya dilengkapi dengan mikrofon? Suling dan biola
tunggal saja sudah cukup jelas kedengaran dalam suatu ruangan besar seperti
gedung kesenian atau gedung gereja. Musik keras kurang mengajak orang untuk
‘menguping’ kalau volumenya tidak bisa mengecil sampai ppp.
Mendalami
Karakter Nyanyian
Ada nyanyian gereja
yang sifatnya gembira sekali, tetapi tidak semua nyanyian harus demikian. Di
dalam Kitab Mazmur terdapat kumpulan ekspresi hati manusia yang amat bervariasi
dalam mencerminkan perasaan manusia di hadapan Tuhan: keyakinan dan
kebingungan, sukacita dan kesedihan, pesta dan perkabungan, pengharapan dan
keputusasaan, keberserahan dan pemberontakan, kebanggaan dan kerendahan
hati, puji syukur dan seruan minta
tolong, rasa bahagia dan keluhan serta banyak kontras lainnya. Semua aspek
hidup beriman itu sah saja dan menjadi contoh bagi semua nyanyian umat Tuhan
selanjutnya.
Tentunya,
pemusik-pemusik gerejawi seperti prokantor, pemimpin paduan suara serta para
pengiring instrumental perlu turut menghayati karakter dari setiap nyanyian
yang mereka pimpin atau iringi, lalu memilih suara atau kombinasi suara yang
sesuai. Juga tempo nyanyian itu perlu dipikirkankan. Kalau tidak ada petunjuk
untuk kecepatan, pengiring sendiri harus menentukannya dengan menyenandungkan
melodi sambil merenungkan kata-kata syairnya. Ingat: tempo cepat atau
tangganada mayor tidak selalu menggambarkan kegembiraan dan tempo lambat atau
tangganada minor tidak selalu menunjukkan kesedihan. Akhirnya isi kata-katalah
yang harus disampaikan melalui lagu itu, entah dalam tempo lambat atau cepat,
dalam tangganada minor atau mayor. Kita perlu mengembangkan feeling (perasaan)
musikal yang turut menentukan tempo yang pas.
Tempo cepat, sedang
atau lambat itu sama sekali tidak ditentukan oleh penulisan not. Penulisan
not-not itu pada dasarnya bersifat relatif dan hanya disesesuaikan dengan
penyelenggaraan praktisnya. Misalnya lagu KJ 123 (“S’lamat, s’lamat datang”)
ditulis dengan dua ketuk yang
masing-masing dibagi dua dalam birama pertama. Ada yang berpikir bahwa temponya
harus sangat cepat, yakni berdasarkan garis-garis pembagi itu. Tetapi temponya
yang pas tidak lebih cepat dari MM 60 per ketukan: cukup tenang, namun tetap
mengalir lincah. Oleh karena itu lagu ini tidak dinotasi dengan 4 ketuk tetapi
dengan 2 ketuk.
Bentuk
Syair dan
Lagu Serta Cesura
Ada nyanyian sederhana
yang hanya terdiri atas dua baris per bait. Ada juga dengan tiga baris. Lebih
sering dan mungkin paling sering ada nyanyian dengan empat baris (seperti
hymne-hymne kuno dan hymns dari tradisi Gereja Inggris). Kalau skema sanjaknya
adalah aa,bb atau ab,ab, maka keempat baris itu dapat dibagi atas 2 x 2 baris
dengan pembatas (cesura) di tengah-tengah. Ini mirip dengan gejala pause dalam
hymne gregorian dari Abad Pertengahan: pausa minor (pause pendek, ditandai oleh
garis pendek vertikal ˡ ) di antara
baris pertama dan kedua dan di antara baris ketiga dan kempat; lalu pausa mayor
(pause lebih panjang, ditandai oleh garis panjang vertikal │ ) di antara baris kedua dan ketiga;
akhirnya pausa finalis (pause akhir, ditandai oleh garis panjang ganda vertikal ǁ ) di akhir tiap bait. Pausa minor: tarikan
nafas pendek; pausa mayor: tarikan nafas lebih panjang sedikit; pausa finalis:
penutup/berhenti. Pengiring instrumental harus ikut bernafas sambil
mengekspresikannya dalam cara mengiringi! Hati-hati: jangan terlalu panjang
tarikan nafas itu – pausa itu seharusnya hampir tak terasa!
Sedemikian juga ada cesura
dalam lagu-lagu lain, yakni pembatas yang perlu ikut diperhitungkan oleh
pengiring. Contoh: KJ 2 (“Suci, suci, suci”; 4 baris, ab,ab):
Suci, suci, suci Tuhan Mahakuasa! <tarikan nafas sangat pendek>
Dikau kami puji di pagi yang teduh. <tarikan nafas lebih panjang sedikit: di
sini cesura>
Suci, suci, suci, murah dan perkasa, <tarikan nafas sangat pendek>
Allah Tritunggal, agung nama-Mu! <berhenti>
Contoh lagi: KJ 276 (“Bangunlah! Dengar suara”; 12
baris, aab,ccb;dde,fff ):
Bangunlah! Dengar suara <tarikan nafas sesuai angka 0>
memanggil tinggi di menara: <tarikan nafas sesuai angka 0>
Yerusalem, hai bangunlah! <tarikan
nafas lebih panjang sedikit>
Bergema suara lantang <tarikan
nafas sesuai angka 0>
pertanda sudah larut malam: <tarikan
nafas sesuai angka 0>
Hai para putri, jagalah! <tarikan nafas lebih panjang: di sini cesura
>
T’lah datang Mempelai; <tarikan nafas sesuai angka 0>
pelita ambillah! <tarikan nafas sangat pendek>
Haleluya! <tarikan nafas lebih panjang
sedikit>
Bersiaplah <tarikan nafas sangat pendek>
ke pesta-Nya <tarikan nafas sangat pendek>
dan sambut Dia segera! <berhenti>
Perhatikan juga bahwa syair nyanyian di atas ini
berbentuk cawan Perjamuan Kudus. Juga jumlah 12 baris ada pengertian
simbolisnya.
Pernafasan memainkan peranan penting dalam pembawaan
dan pengiringan nyanyian
ini. Jika nyanyian seperti ini dibawakan dengan cara
robot, maka nyawanya melayang
dan yang tinggal hanya tulang-tulangnya.
Latihan: di mana cesura (tarikan nafas secukupnya, walau
hampir tak terasa) dalam buku Kidung Jemaat, Nr. 17, 23, 31b, 86, 93, 114, 115,
138, 139, 157,160, 220, 250b, 263, 282, 290, 314, 322, 324, 412.
Prelud,
Interlud, Postlud dan
Modulasi
‘Prelud’ juga disebut ‘Intro’.
‘Prelud’ adalah permainan pendahuluan dan ‘Intro’ adalah introduksi,
perkenalan. Suatu
nyanyian dapat juga diperkenalkan dengan ‘Intonasi’, yakni suatu intro yang
amat pendek, permainan singkat yang menentukan tinggi nada. Lagu-lagu yang bersifat
aklamasi (nyanyian pendek yang mengaminkan) dalam liturgi sebaiknya tidak
didahului oleh ‘prelud’ atau ‘intro’, paling-paling oleh intonasi sangat pendek
atau hanya satu nada saja + nafas tenang, sama pendek dengan nada yang
dibunyikan dalam tempo dari nyanyian yang akan diiringi. Prelud/Intro
bermanfaat untuk menentukan suasana nyanyian, tinggi nadanya dan temponya. Perlu
dijaga agar tempo prelud sama dengan tempo nyanyian yang bersangkutan. Jangan
intronya cepat, lalu nyanyiannya tiba-tiba lambat. Pengiring sudah harus
menentukan tempo yang wajar sebelum ia memainkan intro.
Bagaimana beralih dari
intro ke bait pertama? Jika tangan pengiring terus melengket pada klavir, maka
tidak jelas bagi jemaat kapan diharapkan mulai menyanyi. Seninya pengiring
ialah: berhasil mengajak jemaat mulai menyanyi serempak pada saat yang pas. Untuk
itu ia harus mengangkat tangannya dari klavir sebagai tanda memberi kesempatan
kepada jemaat untuk menarik nafas. Lalu ia mulai memainkan iringan nyanyian
dalam tempo yang sudah ditentukan dalam Intro (jadi tanpa memperlambat/ memperpanjang
ketukan pertama). Jemaat jangan harus menunggu: harus ada kepastian, juga
supaya suku kata pertama dari nyanyian bersama itu jangan hilang. Ketukan yang
kosong antara Itro dan awal nyanyian tetap dalam tempo semula. Jika nyanyian
dengan 4 ketuk mulai pada ketukan pertama, maka pengiring mengangkat tangannya
dari klavir pas pada awal ketukan keempat yang kosong. Sedemikian juga untuk
semua ketukan lainnya: ketukan terakhir dari Intro dikosongkan dan tangan diangkat
dari klavir, lalu mulai lagi pas pada waktunya.
Sesudah bait pertama
selesai dinyanyikan, si pengiring langsung siap untuk memainkan iringan untuk
bait berikutnya. Yang paling mantap ialah peralihan tanpa interlud lagi. Ada
sela sedikit untuk menarik nafas dengan tenang. Ternyata ada ‘kebijaksanaan’
(keputusan majelis?) agar pengiring memainkan interlud, yakni supaya jemaat
sempat bernafas sementara permainan instrumen berjalan terus tanpa berhenti.
Tetapi belum tentu jemaat mulai melagukan bait berikutnya tepat pada ketukan
awal, karena juga antara interlud dan bait berikutnya tidak ada sela! Pemain
instrumen (juga dalam band) harus bisa berhenti. Rhythm-box jangan dipakai
(biar itulah yang menjadi keputusan majelis). Tentunya diperlukan latihan
matang dalam hubungan ini, sebaiknya bersama-sama dengan rekan-rekan pengiring
instrumental.
Modulasi ke tinggi
nada lain? Itu memang sana-sini menjadi trend, seolah-olah menjadi
suatu keharusan. Mungkin saja si pengiring ingin
memperdengarkan kebolehannya,
tetapi modulasi tidak otomatis cocok untuk semua
nyanyian, apalagi kalau ambitus lagunya (jangkauan antara nada terendah dan
tertinggi) sudah besar. Hematlah dengan modulasi.
Kesederhanaan
Kesederhanaan adalah
tanda pengenal dari yang benar. Pengiringan nyanyian jemaat bersifat
pengabdian. Jangan sampai ada kesan seolah-olah suara intrumen-instrumen
pengiring lebih penting dari nyanyian yang diiringi. Tentunya segala kreatifitas dan fantasi kita
boleh kita pakai, asal tetap dengan tujuan menjiwai nyanyian gereja, sehingga
jemaat benar-benar menemukan ekspresi imannya di dalam nyanyian itu.
Jakarta, 22 Augustus 2014
Harry
van Dop
Tulisan yang bagus, membangun dan mengkritisi musik gereja yg asal rame dgn sound system menggelegar. Disini kita bisa melihat nyanyian gerejawi yg harus keluar dari hati dan penjiwaan. Sehingga pemusik dan jemaat mencapai tujuan bersama yaitu memuji dan menyembah Tuhan. Thq Mr Harry...Gbu
BalasHapus