Teologi Pertanggungjawaban (Responsibility Theology)

Manusia adalah makhluk religius dan karena itu di dalam kehidupannya dapat berpikir dan juga merasakan tentang Yang Ilahi. Aktivitas inilah yang paling tidak kita sebut sebagai aktivitas teologi (baca berteologi). Dalam sejarah perkembangan gereja, banyak bermunculan tokoh-tokoh teologi dengan pahamnya masing-masing. Misalnya Thomas Aquinas dengan karyanya “Summa Theologiae” yang penuh dengan filsafat, John Calvin dengan “Instituo”, Martin Luther dengan “katekismus”, Karl Barth dengan karyanya “Dogmatika Gereja” dsbnya. Demikian kita melihat bahwa teolog-teolog tersebut hadir dengan corak berpikir yang berbeda dengan mewakili zaman di mana mereka hidup (konteksnya).

Dari berbagai jenis teologi yang muncul, dibahas hubungan antara manusia dengan Tuhan, atau pembahasannya hanya tentang Tuhan. Isi teologi berbicara tentang siapa itu Tuhan (ontologis), di mana Tuhan berada, dan juga apa yang Tuhan kerjakan bagi ciptaan-Nya. Dari kehidupan berteologi inilah kita sekarang belajar, dan bahkan kita menganut paham-paham teologi yang dianggap benar. Hal itu merupakan sesuatu yang baik, namun jika kehidupan kita hanya bertumpu pada dogma atau doktrin tertentu bahkan sampai secara arogan menjudge orang lain yang berada di posisi yang salah dan kita yang benar, inilah yang mungkin harus diwaspadai. Tak dapat dipungkiri bahwa cara berpikir penalti (engkau salah dan aku benar) selalu dijumpai di dalam kehidupan beragama bahkan bergereja sekalipun.

Pokok pembahasan dalam tulisan ini bukanlah mengenai doktrin atau dogma mana yang lebih benar, dan dogma mana yang salah. Silakan setiap orang memilih/menganut doktrin atau dogma yang benar menurut kepercayaan yang diyakini. Namun lebih dari itu ada sebuah refleksi bagi kita orang percaya, untuk melihat kepada diri sendiri sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Menyadari keberadaan sebagai makhluk yang dicipta, itu berarti bahwa kita pun memiliki suatu keterhubungan dengan Sang Pencipta. Dari keterhubungan itulah, kita dapat berpikir dan merasa tentang Tuhan sebagai Sang Pencipta. Inilah yang kita sebut berteologi.

Dengan menyadari kenyataan ini, muncul pertanyaan bagi manusia tentang apa yang harus ia lakukan terhadap Sang Pencipta. Tuhan Sang Pencipta dengan begitu hebat dan penuh kasih telah menciptakan manusia (bahkan dianggap sebagai ciptaan paling istimewa). Tuhan bukan menciptakan manusia seperti seorang tukang jam yang membuat jam dan setelah itu pergi meninggalkan jam itu berputar secara sistematis.[1] Atau seperti seorang dalang yang memainkan wayang sesuka hatinya; berbicara, bertindak sesuai dengan kemauan dalang.

Tuhan adalah Pencipta yang memberikan kebebasan di dalam keterbatasan manusia yang Ia ciptakan. Bagaikan seekor ikan yang berenang bebas di lautan luas, namun jika ia berada di daratan ia akan mati. Kebebasan ikan itu pada hakikatnya di dalam air, dan keterbatasannya di luar air. Demikian juga manusia. Manusia adalah makhluk yang unik, yang diberi Tuhan pikiran, perasaan, kreativitas, kebebasan, kehendak bebas (free will) di dalam dirinya. Inilah keistimewaan manusia dari ciptaan yang lain.

Jika demikian, apa konsekuensi dari manusia sebagai ciptaan yang istimewa dan bebas ini? Dengan segala keistimewaannya manusia “dituntut” suatu pertanggungjawaban dari Sang Pencipta. Mengapa manusia dan bukan binatang atau tumbuh-tumbuhan atau yang lainnya? Jawabannya, ya karena manusia itu istimewa! Dalam teologi Kristen manusia dianggap sebagai Gambar Allah. Inilah konsekuensi logis dari teologi pertanggungjawaban (responsibility theology).

Dalam perjalanan berteologi sepanjang masa, bisa dilihat pembahasan dari para teolog tentang Tuhan, penciptaan, surga dan neraka, manusia diselamatkan karena dan oleh siapa. Tema-tema teologis di atas jika dipandang dari sudut filsafat masih memberi penekanan yang bersifat ontologis dan epistimologis, belum bersifat aksiologi. Tema-tema tersebut membahas tentang: siapa itu Tuhan, siapa itu manusia? (ontologis), bagaimana dunia diciptakan, atau bagaimana manusia diselamatkan? (epistimologi).

Itulah tema-tema teologi yang dominan dalam sejarah perjalanan gereja dalam berteologi. Sekarang kita bertanya, untuk apa  semua itu? Untuk apa kita tahu tentang Tuhan dan manusia secara hakikat (ontologi). Untuk apa kita mengetahui bagaimana Tuhan menciptakan dunia dan menyelamatkan manusia? (epistimilogi). Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menghantar kita kepada kegunaan atau ke-bermanfaat-an teologi-teologi sebelumnya yang sekarang menjadi doktrin atau dogma yang dianut.

Mengetahui sejarah berteologi di masa lalu itu untuk apa? Di sinilah kita sampai pada aspek kegunaan (aksiologi) teologi-teologi terdahulu. Manusia sekarang tidak lagi bertanya tentang siapa Tuhan, dan bagaimana Tuhan menyelamatkan manusia dari dosa (tidak berarti bahwa manusia telah mengetahui tentang Tuhan seutuhnya dan hal itu tidak penting). Jawaban dari semua itu mungkin secara sederhana kita katakan bahwa Tuhan itu Maha kasih, dan karena itu Ia menyelamatkan manusia yang berdosa dengan kasih. Inilah jawaban itu, dan inilah hasil berteologi terdahulu.

Sungguh disayangkan, jika kita yang hidup sekarang masih berteologi di seputar tema yang sama. Apakah tema-tema berteologi itu tidak penting di masa kini? Bukan tidak penting, tetapi kurang lengkap jika berteologi hanya berhenti di situ. Ibarat menonton sebuah film perang, kita hanya diberikan informasi siapa sutradara filmnya, bagaimana dan di mana ia membuat film tersebut dan kemudian menonton adegan-adegan yang kita anggap penting tanpa mengetahui cerita dari film itu apalagi inti pesannya. Barangkali kita perlu melihat pandangan seorang filsuf bernama Satre mengenai iman. Pandangannya mengenai iman, terkhususnya "iman yang buruk" sangat kompleks. Inti dari iman yang buruk adalah "berbohong kepada dirinya sendiri", menolak dengan sengaja kebebasan yang bertanggung jawab untuk menjadi apa yang ia ketahui.  

Teologi pertanggungjawaban adalah teologi yang dinamis bukan statis. Teologi pertanggungjawaban adalah teologi yang menghayati aktivitas berteologi sebelumnya sebagai sebuah refleksi untuk mempertanggungjawabkan iman kepercayaan seseorang kepada Tuhan sebagai Penciptanya. Teologi ini mempertanyakan untuk apa Tuhan melakukan semuanya bagi saya? Lewat pertanyaan inilah umat diajak untuk mempertanggungjawabkan hidupnya sebagai makhluk yang istimewa, yang serupa dan segambar dengan Allah. Teologi pertanggungjawaban membawa umat secara pribadi lebih dewasa menghayati panggilan hidupnya dalam dunia. 


Selamat berefleksi dan berteologi !



[1] Lihat paham Deisme yang mengatakan Tuhan tidak mencampuri urusan manusia. Tuhan dilihat dengan akal dan pikiran semata sehingga hal-hal yang berupa mujizat ditolak.

Komentar

Postingan Populer