BELAJAR UNTUK HIDUP, HIDUP UNTUK BELAJAR
BELAJAR DARI PENDIDIKAN YAHUDI
Ø Pengantar:
Di masa kini tugas mendidik dan
mengajar anak selalu disepelehkan oleh banyak orang tua Kristen. Dengan
berbagai kesibukan pekerjaan dan
kesibukan lainnya anak-anak sering kali diabaikan. Komunikasi yang
terjadi di antara orang tua dan anak seringkali tidak berjalan dengan baik.
Orang tua pergi kerja di pagi hari sebelum anak bangun ke sekolah dan pulang ke
rumah dengan keadaan anak sudah tertidur. Ini adalah salah satu gambaran
kondisi sekarang dari berbagai masalah yang kompleks tentang pendidikan di
dalam keluarga.
Mengingat sifat hubungan orang tua
dan anak, yang menyangkut hubungan emosional, afektif, dan intensitas pergaulan
akan keduanya, dapat dimengerti bahwa orang tualah yang mempunyai tanggung jawab
primer dalam pendidikan anak mereka. Artinya, merekalah yang paling mengenal
dan berkepentingan terhadap anak-anak mereka. [1]
Dengan judul di atas tentang
“belajar untuk hidup, hidup untuk belajar” maka yang akan dibahas adalah
teladan bangsa Israel, khususnya para orang tua dalam mendidik anak sebagai
tugas belajar dari Tuhan. Judul di atas merupakan sebuah refleksi atas
pendidikan hidup yang dilakukan oleh bangsa Israel yang menjadikan belajar
sebagai life style. Tua muda, besar
kecil memiliki tugas untuk belajar sepanjang hidup. Belajar merupakan kegiatan
seumur hidup (life long learning),
atau belajar seumur hidup (long life
education) yang harus dihayati.
Mengapa menjadikan pendidikan
Yahudi sebagai contoh dalam Pendidikan Agama Kristen? Paling tidak ada 2 hal
yang menjadi pertimbangan. Pertama, karena dari pendidikan Yahudilah Yesus
(dari sisi manusiawinya) berasal, dididik mengenai Taurut, tradisi-tradisi dan
lain sebagainya. Kedua, bangsa Yahudi adalah bangsa yang sangat menaruh
perhatian penuh pada pendidikan. Paling tidak, dua alasan itu cukup untuk
menjadikan mereka bangsa yang patut dicontohi.
Jika pendidikan Yahudi yang diambil
sebagai contoh, maka perlu melihat apa yang menjadi “motivasi” mereka dalam
belajar. Hal itu bisa ditemukan dalam Kitab Ulangan 6:4-9, yang merupakan
bagian Kitab Suci yang memberikan arti yang mendalam bagi umat Yahudi dalam
mengemban tugas mengajar dan belajar. Bagian Kitab Suci ini merupakan Pengakuan
Iman bangsa Israel pada waktu itu, atau yang biasa dikenal dengan Syema Yisrael . [3]
Secara khusus penekanannya pada ayat 7.
Teks
yang dipakai, Ulangan 6:7 “haruslah engkau mengajarkannya
berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di
rumah, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan
apabila engkau bangun”.
Ø Konteks
Historis teks Ulangan 6:7
·
Pada pemerintahan raja Yosia di Yehuda ,
keadaan politik di Israel agak tenang . hampir tidak ada lagi pengaruh luar
negeri . Asyur saat itu mulai lemah, dan pengaruhnya diarahkan kepada Babylon
yang mulai muncul sebagai negara yang kuat. Dalam keadaan ini Yosia mengambil tindakan
pembaharuan agama Israel. Pada tahun 622 SM, ketika Bait Allah di Yerusalem
sedang diperbaiki, imam besar Hilkia menemukan sebagian dari kitab Ulangan.
Oleh karena itu reformasi Yosia lebih dikenal sebagai “Reformasi
Deuteronomist”.
·
Theologi Deuteronomistis
Dari
penyelidikan ternyata bahwa theologi Deuteronomis berasal dari Kerajaan Utara
(Israel). Kehidupan agamawi orang Israel diracuni oleh sinkritisme yang hebat
sekali. Akan tetapi di dalam masa sinkritisme ini terdapat sekelompok imam-imam
yang masih setia kepada Yahweh dengan
demikian lambat-laun berkembanglah theologi imam-imam ini sebagai theologi yang
anti-sinkritisme. Sesudah jatuhnya Samaria (tahun 722), imam-imam ini turut
mengungsi ke Yehuda bersama penduduk Israel lainnya. Dengan
demikian theologi mereka turut dibawa masuk ke Yehuda dan di sana theologi ini
dibukukan.
Maksud
Deuteronomis dan penulis-penulisnya, yang pengaruhnya terdapat mulai dari kitab
Keluaran sampai kepada II Raja-raja, ialah untuk memanggil kembali bangsa
Israel guna melaksanakan panggilannya sebagai bangsa yang terpilih oleh Allah.
Deuteronomis memanggil bangsa Israel untuk taat kepada kepercayaan yang harus
dinyatakan di dalam ibadah, tetapi juga di dalam “sunat hati” dan “kehidupan
menurut hukum Allah”. Khususnya, unsur pilihan yang merupakan anugerah Allah,
dititik beratkan, tetapi dipihak lain, bangsa Israel harus hidup menurut hukum
Tuhan, supaya Israel menjadi suatu bangsa seperti yang telah ditentukan oleh
Allah: Bangsa yang kudus milik Allah.
Konsepsi
pembalasan hukuman atas dosa adalah penting dalam theologi Deuteronomis. Kalau
bangsa itu berdosa, mereka akan dihukum oleh Allah, tetapi Allah meyelamatkan
bangsaNya, sesudah mereka bertobat.
Deuteronomis
menitik-beratkan arti kota Yerusalem sebagai pusat kultus Israel. Semua
kuil-kuil di luar Yerusalem haruslah ditutup, sebab justeru tempat-tempat kudus
itulah selalu merupakan pusat sinkritisme. Hanya ada satu tempat kudus yang
dipilih oleh Allah, yaitu Bait Allah di Yerusalem.
Jelas
konteks realitas sosial pada masa Israel berbeda dengan konteks realitas sosial
kekinian. Namun itu bukan berarti bahwa apa yang dilakukan Allah terhadap
bangsa Israel dalam hal mendidik pada waktu itu sudah tidak relevan lagi dengan
konteks masa kini. Konteks memang berbeda, namun prinsip mendidik dari Tuhan
masih relevan dengan konteks masa kini untuk diterapkan dalam hal mendidik
anak.
Ø Motivasi
Theologis
Tema
besar kitab Ulangan: SYEMA YISRAEL YAHWEH
ELOHENU YAHWEH EHAD, artinya DENGARLAH HAI ISRAEL , YAHWEH ITU ALLAH KITA, YAHWEH
ITU SATU (ULANGAN 6:4)
Kata-kata
ini merupakan pengakuan kepercayaan orang Israel dan mempunyai arti yang besar
dalam kehidupan rohani orang Israel sampai masa kini. Sesudah orang Israel
memasuki tanah Kanaan, mereka mangambil-alih kuil-kuil orang Kanaan, tempat
Baal dipuja. [4]
Perikop
ini adalah pembukaan pidato pengajaran ( atau: khotbah, kuliah umum) yang
disampaikan Musa sebgaiman dicatat dalam Ulangan pasal 6 s/d 11.[5] Dengan
demikian teks Ulangan 6:7 merupakan satu kesatuan dengan tema besar Ulangan
yakni pengakuan Iman Israel (Syema). Ayat
ini (ayat 7) muncul sebagai lanjutan untuk mengajarkan perbuatan Allah pada
masa itu dan itu juga berarti bahwa pengajaran tersebut berdampak pada generasi
selanjutnya.
Dengan
melihat konteks historis di atas bahwa Israel bukan saja satu-satunya bangsa
yang hidup pada waktu itu, melainkan ada banyak bangsa, maka kehidupan saling
mempengaruhi dapat terjadi sebagai akibat sosiologis. Bangsa Israel memiliki
iman kepada Yahweh tetapi bangsa lain (seperti Kanaan) juga mengimani Baal
sebagai allah mereka.
Di
sinilah tugas pendidikan sangat penting. Pendidikan bangsa Israel harus membawa
mereka kepada pengenalan akan Allah yang benar
dan hidup menurut kehendak Allah. Dengan demikian mereka menunjukan ciri
khas panggilan mereka sebagai umat Allah (Qahal
Yahweh). Konsekuensi dari tidak mendidik anak ialah generasi Israel dapat
terjerumus ke dalam cara hidup yang sama dengan bangsa lain, yakni menyembah
Baal. Di sinilah Allah memakai pendidikan sebagai alat untuk menjaga kehidupan
umatNya agar tetap kudus bagiNya.
Ayat
ini merupakan suatu tanggung jawab besar
kepada orang tua untuk mendidik dengan cara-cara yang telah ditentukkan.
Ini ditandai dengan kata “haruslah”. Pendidikan merupakan sebuah keharusan
untuk bisa menciptakan generasi yang hebat, yang dapat bertahan dalam setiap
ujian kehidupan dan bahkan dapat mempengaruhi bangsa lain dengan cara hidup
mereka yang berfokus pada Allah.
Selanjutnya
dalam ayat 7 menjabarkan cara belajar dan mengajarkan pidato Musa. Ada tiga
cara utama yaitu memperhatikan, mengajarkan berulang-ulang (Ibrani: shanan = mengasah, meruncingkan,
menajamkan) dan membicarkan. [6]
Dengan
melihat konteks historis dan juga motivasi theologis Ulangan 6:7, kita mendapat
sebuah gambaran mengenai pendidikan umat Israel yang dapat membekali kehidupan mereka di masa depan. Teks ini
bukan saja berbicara mengenai bagaimana cara belajar tetapi juga menekankan
kefokusan dalam mendidik generasi waktu itu. Agar dengan pendidikan inilah umat
pada waktu itu dapat bertahan dan melanjutkan hidup. Dapat juga dikatakan bahwa
inilah “pendidikan hidup”. Qahal Yahweh belajar untuk hidup dan hidup untuk
belajar. Inilah pendidikan kehidupan.
Ø Konteks
Masa Kini
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang majemuk dalam berbagai aspek. Baik itu aspek
agama, suku, strata sosial (golongan), budaya dan sebagainya. Dengan kenyataan
inilah, Indonesia menjadi tempat perteduhan berbagai kemajemukan tersebut.
Kemajemukan
seringkali disikapi secara berbeda-beda oleh berbagai orang. Ada yang
menerimanya sebagai kekayaan bangsa, ada juga yang menolaknya karena ingin memaksa keinginan
dirinya yang menonjol. Jika, sikap terakhir yang dipegang oleh kebanyakan orang
maka Indonesia akan menjadi terpecah-pecah. Inilah kenyataan yang sering
terjadi. Misalnya dalam aspek agama; agama yang satu sering ingin menonjolkan
diri dari agama yang lain. Sikap arogansi sering dipertontonkan untuk
menunjukan power .
Indonesia yang berpegang pada pemerintahan
demokrasi sering berubah wujud menjadi pemerintahan yang didominasi oleh
golongan tertentu (dominokrasi). Contoh
kasus yang terjadi: seorang lurah yang didemo untuk turun dari jabatannya bukan
karena kinerjanya yang kurang baik melainkan karena perbedaan agama.
Dari
gambaran di atas menunjukan bahwa, masih banyak orang yang melihat perbedaan
sebagai sesuatu yang buruk, dan harus dimusnahkan. Seakan-akan mayoritas lebih
unggul dari minoritas, dan inilah yang dipegang. Ini baru soal agama, belum
lagi kemajemukan yang lainnya. Misalnya budaya, strata sosial dan lainnya.
Jika
memegang semboyan bangsa ini; “Bhineka Tunggal Ika” dengan benar, maka
kehidupan yang harmonis akan dapat diwujudkan sehingga terciptalah masyarakat
yang adil dan makmur. Tidak ada lagi kaum mayoritas dan minoritas. Semuanya
sama; baik itu kaya atau miskin, putih atau hitam, orang Jawa atau Papua, agama
apapun, semuanya melebur dalam Bhineka Tunggal Ika.
Untuk
mewujudkan kehidupan berbangsa yang harmonis (saling menerima dalam segala
perbedaan) maka salah satu cara yang baik jika ditempuh adalah melalui
pendidikan. Dalam hal ini, Pendidikan Agama Kristen sebagaimana belajar dari
kisah kehidupan bangsa Israel yang terterah dalam Ulangan 6:6-7. Secara khusus
pada ayat 7. Sejalan dengan itu, Hadinoto Atmadja mengatakan:
“Tugas belajar-mengajar sudah sejak dari
Perjanjian Lama diinstruksikan dalam Ulangan
6:6-7, yang dikenal dengan Syema
Yahweh.
Tujuan dari pengajaran
dalam gereja adalah agar orang diajarkan jalan Tuhan. Jalan yang dimaksud
adalah menuju kehidupan, yang menyangkut mendengar dan melakukan yang benar.
Agar jalan yang benar itu dapat dicamkan dan dipraktekkan , dibutuhkan PAK”.
Ø Impilikasi
Teks Bagi PAK
Teks
Ulangan 6:7 memberikan gambaran yang jelas tentang penting pendidikan di dalam
keluarga. Melalui pendidikan kelurga inilah Umat Allah dibekali untuk
kehidupan masa itu dan kehidupan
generasi selanjutnya. Selanjutnya melalui pendidikan keluarga, generasi
mendatang dipersiapkan untuk bisa bertahan dari pengaruh-pengaruh kehidupan
bangsa lain. [8]Kerena
itulah pendidikan agama dalam keluarga sangat penting dan memberi pengaruh yang
besar pada kehidupan anak selanjutnya.
Sejalan
dengan itu, John Milla mengatakan:
“Umat
Yahudi pada umumnya dan setiap keluarga pada khususnya ditugaskan untuk
menyampaikan kekayaan iman tentang bangsa pilihan Allah ini kepada generasi baru.
Pusat Pendidikan Agama adalah keluarga, terutama sang Ayah yang bertanggung
jawab dalam Pendidikan Agama kepada keluarganya...”
Orangtua-orangtua
Kristen seharusnya menerapkan tiga aspek mendidik anak dalam keluarga yang
sesuai pandangan Alkitab, yakni; aspek
mangasuh, contohnya Abraham dalam mengasuh/merawat Ishak, aspek mendidik/mengajar, contohnya imam
Ely yang salah dalam mendidik anank-anaknya dan yang terakhir adalah aspek
memperlengkapi (Efesus 4:12).
Namun kenyataan masa kini jauh berbeda dengan apa yang diharapkan.
Banyak orang yang sekarang mencari
fokus bagaimana hidup (asal bisa makan). Bisa dikatakan orang tersebut dalam
hidupnya “berpusat pada perut” (stomach
oriented). Ini bukan hal yang salah tetapi juga bukan hal yang sepenuhnya
benar. Kebutuhan primer (makanan, rumah, pakaian) merupakan hal yang penting,
dan untuk itu tidak bisa ditunda lagi. Dengan kenyataan inilah orang “belajar
untuk hidup”. Melalui ketrampilan yang dimilki, seseorang dapat bekerja dan
menghasilkan uang untuk bisa hidup. Entah yang dikerjakannya itu baik atau
buruk yang pasti dia belajar untuk hidup. Inilah sifat makhluk hidup, bahwa
dengan kenyataan hidup dia harus belajar untuk hidup, dia belajar untuk
memaksimalkan ketrampilan dan kemampuannya untuk hidup. Sebagaimana seekor
singa dapat belajar untuk hidup dengan mencari makan walau dengan cara menerkam
dan memakan mangsanya.
Dengan
demikian “belajar untuk hidup” bisa dapat dikatakan sebagai naluri alamiah.
Semua makhluk hidup, bukan saja manusia,
dapat dan bahkan harus melakukannya. Inilah yang dimaksudkan dengan
belajar untuk hidup.
Bagaimana
dengan “hidup untuk belajar”? Tidak semua orang menghayati dan memaknai bahwa
hidup itu untuk belajar. Jika belajar untuk hidup harus dilakukan semua orang
maka hidup untuk belajar hanya dilakukan sebagian orang.
Belajar dari kehidupan bangsa Israel sebagai umat
Allah (Qahal Yahweh) yang sangat menekanan bukan hanya belajar untuk hidup
tetapi lebih dari itu bahwa hidup untuk belajar. Tugas belajar dihayati penuh
oleh bangsa ini, bahkan sampai pada masa kini. Belajar merupakan kebiasaan atau
life style-nya umat Yahudi sekarang
ini. Sejalan dengan itu, Abram mengungkapkan: “ di kalangan Yahudi, belajar
bukan hanya “perintah Allah” tetapi menjadi way
of life “.[10]
Seluruh eksistensi kehidupan mereka adalah belajar.
Hal
itu terlihat jelas dari teks kita (Ulangan 6:7) khususnya pada kata
berulang-ulang (Ibrani: shanan = mengasah, meruncingkan,
menajamkan). Anak-anak diajarkan oleh orang tuanya sebagai suatu tanggung jawab
besar dari Tuhan.
Jika
melihat realitas hidup masa kini, maka yang ditemukan adalah kenyataan yang
berbeda jauh. Orangtua lebih memfokuskan diri pada “belajar untuk hidup”. Sisi
lain dari kehidupan yakni “hidup untuk belajar” disepelehkan. Tugas mendidik
yang secara khusus diberikan Allah kepada orang tua
disepelehkan. Banyak orang tua lebih
memilih mencari uang sebanyak-banyaknya ketimbang meluangkan waktu bersama
dangan anak untuk belajar. Ini jelas jauh berbeda dengan kehidupan umat Allah
waktu itu. Jangankan belajar dengan cara shanan
(mengasah, meruncing, menajamkan), intensitas waktu untuk bertemu saja
susah apalagi berkomunikasi.
Memang
konteks umat Allah dan kita pada masa kini jauh berbeda tetapi prinsip-prinsip
dari pendidikan kehidupan perlu dilakukan juga pada masa kini. Tidak cukup
menekankan “belajar untuk hidup” tetapi juga “hidup untuk belajar”. Manusia
adalah makhluk yang berakal, dan bukan saja
bertindak menggunakan naluri alamiah seperti hewan. Karena itulah kedua
prinsip pendidikan kehidupan harus berjalan bersamaan.
Mengingat sifat huubungan orang tua
dan anak, yang menyangkut hubungan emosional, afektif, dan intensitas pergaulan
akan keduanya, dapat dimengerti bahwa orang tualah yang mempunyai tanggung
jawab primer dalam pendidikan anak mereka. Artinya, merekalah yang paling
mengenal dan berkepentingan terhadap anak-anak mereka. [11]
Pengaruh pola asuh dalam keluarga
sangat besar menentukan bagaimana masa depan anak-anak kelak. Keluarga yang
melihat pentingnya kedua prinsip pendidikan kehidupan akan menciptakan
generasi-generasi yang dapat bersaing dan juga dapat memegang nilai-nilai
Kristiani dalam kehidupannya kelak.
Sejalan dengan itu Marjorie
Thompson mengatakan:
“Karena kita lahir atau
diterima dalam keluarga masing-masing , dan karena keluarga asal adalah konteks
utama kehidupan dan hubungan sehari-hari selama masa-masa pembentukan,
tampaknya cukup beralasan untuk menyimpulkan bahwa keluarga asal adalah tempat
pertama pembentukan rohani. Entah keluarga baik atau buruk, direncanakan atau
tidak, di dalam keluarga yang “telah diberikan” inilah, mau tidak mau, sebagai
anak-anak, hati dan pikiran kita dibentuk secara mendasar.
Keluarga memang
bukanlah satu-satunya konteks pembentukan pribadi yang secara berlangsung.
Hidup ini penuh dengan konteks-konteks alternatif –misalnya sekolah, tempat
kerja, gereja, kelompok-kelompok masyarakat, jalan-jalan umum,
kebudayaan-kebudayaan lain – di mana lingkaran informasi dan hubungan yang semakin
meluas terus-menerus membentuk kita. Tetapi, dengan siapa secara akrab kita
tinggal, berjuang, dan bermain, tampaknya memberikan dampak yang paling
mempengaruhi – walaupun tidak disadari –jati diri kita.”[12]
Ini
perlu direnungkan oleh kita, khususnya orang tua masa kini, agar melalui
Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga, anak disiapkan untuk menjadi pribadi
yang tangguh di masanya dan masa depan walaupun ada banyak realitas sosial yang
berbeda dengan yang dimilikinnya. Perbedaan-perbedaan dengan orang lain dapat
diterima, tetapi dibalik itu juga anak dapat menunjukan jati diri sebagai garam
dan terang bagi dunia sekitar .
Semua
ini bisa terjadi, jika anak tidak saja diajar bagaimana belajar untuk hidup
tetapi juga hidup untuk belajar. Orangtua memiliki tugas penting untuk memberi
makna terhahadap pendidikan kehidupan ini dengan mengajar anak. Mengajar adalah
menabur nilai-nilai hidup.
Kita
belajar untuk hidup, tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa kita hidup
untuk belajar.[13]
Inilah yang juga diajarkan Allah kepada
Israel; Belajar untuk hidup dan hidup untuk belajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Andar
Ismail, 2010, Ajarlah
Mereka Melakukan, Jakarta
: BPK
Gunung Mulia
Andar
Ismail, 2011, Selamat Menabur, Jakarta : BPK
Gunung Mulia
Atmadja Hadinoto, Dialog Dan Edukasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Bloomendal, Pengantar
Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia
John Virgil Milla, Peran Keluarga Dalam Pengajaran PAK Terhadap Pertumbuhan Rohani Anak, Jakarta:
YAKI
Marjorie Thompson, Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Abdul Waid, Menguak
Rahasia Cara Belajar Orang Yahudi, Jogjakarta: Diva Press
Boehlke Robert, 2011,Sejarah Perkembangan Pikiran Dan Praktek Pendidikan Agama Kristen Jilid
I & II, Jakarta :BPK Gunung Mulia.
[2] Lihat Abdul Waid, Menguak Rahasia Cara Belajar Orang
Yahudi, Diva Press, hlm 75
[3] Lihat
penjelasan lebih lanjut pada bagian pembahasan “Motivasi Teologis”.
[4] Lihat
Bloomendal, Pengantar kepada Perjanjian
Lama, BPK. Gunung Mulia, hlm 60-62
[5] Lihat
Andar Ismail, “Selamat Menabur” hlm 92 tentang
pembahasan Syema. BPK. Gunung Mulia
[6] Ibid hlm 93
[9] John Virgil
Milla, Peran Keluarga Dalam Pengajaran
PAK Terhadap Pertumbuhan Rohani Anak, hlm 31.
[10] AtmadjaHadinoto,
Dialog Dan Edukasi, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, hlm 295
[12] Marjorie
Thompson, Keluarga Sebagai Pusat
Pembentukan, hlm 10-11
Komentar
Posting Komentar