Di Doa Ibuku
Dengan melihat judul tulisan ini,
kita mungkin langsung teringat pada sebuah nyanyian rohani yang terkenal, yang
dinyanyikan oleh Nikita. Pada bagian refreinnya berbunyi demikian: “Di doa
ibuku, namaku disebut, di doa ibuku dengar ada namaku disebut”. Syair lagu ini
begitu menyentuh bagi yang mendengar, apalagi dinyanyikan oleh Nikita ketika
masih kecil. Lagu ini tidak akan dibahas, tetapi yang akan dibahas adalah
kekuatan doa dari seorang ibu.
Ada
sebuah kisah dari Agustinus, seorang yang kemudian dikenal sebagai Bapak
gereja. Agustinus dianggap sebagai salah satu pemikir terbesar Kristen
sepanjang sejarah. Agustinus lahir pada tahun 354 di Tagaste, Afrika Utara.
Ayahnya bernama Patrisius, seorang kafir. Ibunya bernama Monika, mendidik
ketiga putra-putrinya dalam iman Kristen.
Setelah menginjak dewasa,
Agustinus mulai berontak dan hidup liar. Pada usia 29 tahun, Agustinus dan
Alypius, sahabatnya, pergi ke Italia. Agustinus menjadi guru di Milan. Namun,
hatinya merasa gelisah dan mencari-cari spiritualitas untuk mengisi kekosongan
jiwanya. Sembilan tahun lamanya Agustinus menganut aliran Manikisme, yaitu
aliran yang mengutamakan rasionalisme tanpa kehadiran Tuhan. Ibunya tidak
bosan-bosannya berdoa untuknya dan menyarankan Agustinus untuk membaca Kitab
Suci setiap hari. Akan tetapi, Agustinus meremehkan nasihat ibunya. Kitab suci
dianggapnya terlalu sederhana dan tidak menambah pengetahuannya sedikit pun.
Pada usia 31 tahun, Agustinus
mulai tergerak hatinya. Ketika itu pada sebuah taman, Agustinus sedang
merefleksikan betapa kosongnya jalan hidupnya, tiba-tiba ia mendengar suara
seorang anak berteriak tolle lege, tolle lege yang artinya “ambillah dan
bacahlah”. Agustinus mengambil Alkitab dan bagian kitab yang terbuka adalah
Roma 13:13-14 “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan
dalam pesta pora dan kemabukan, jangan ada percabulan dan hawa nafsu, jangan
dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai
perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan
keinginannya.” Agustinus hancur hatinya dan menerima Kristus sebagai
Juruselamatnya. Akhirnya, teman Agustinus yang selama ini sering bersamanya,
yaitu Alypus, juga mengikuti teladannya. Mereka kembali ke jalan Tuhan.
Itulah kisah dari Agustinus, yang pemikirannya
hingga kini masih dipakai oleh para teolog dan gereja-gereja. Di balik nama
besarnya, ternyata ada kisah kelam yang pernah dijalaninya. Di sinilah,
kekuatan doa dari seorang ibu berkuasa untuk merubah sesuatu. Entah berapa lama
ia berdoa, namun yang pasti doa seorang ibu selalu menyertai anak-anaknya
Dengan membuat tulisan ini, saya mengenang
almarhumah ibu saya. Ketika masih kecil kami diajari berdoa oleh ibu, dan walau
pun bertumbuhnya kami dengan pergaulan yang “bebas”, ibu tetap mendoakan kami
untuk kembali ke jalan yang benar; dan itu didengar Tuhan.
Suatu ketika ibu bercerita kepada
saya, di saat saya sudah terlibat berbagai kegiatan kerohanian dan juga sudah
masuk sekolah Agama. Ibu saya mengenang, dengan berkata: “ Udy dulu kamu masih
kecil, ketika ditanyai besar mau jadi apa, kamu menjawab bahwa ingin mau jadi
pendeta.” Dari pembicaraan ini saya terus mengingat moment tersebut. Saya
bertekad untuk jadi pendeta, tapi ternyata
saya menempuh jalur yang lain, namun hampir mirip; kuliah di jurusan
Agama Kristen.
Saya bersyukur bisa berada di jalur yang benar,
itu karena penyertaan Tuhan dan doa dari seorang ibu yang tulus. Di suatu sore
saya pernah mendengar ibu berdoa buat saya di dalam kamar, tak jelas apa yang
didoakan, tapi satu yang jelas ada nama saya disebut. Saya sudah menyelesaikan studi dengan baik,
namun apa yang diraih tidak sempat dilihatnya karena ibu telah dipanggil Tuhan.
Satu hal yang pasti, doa ibu memberi kekuatan bagi saya.
Coba kita renungkan, di jalan
manakah kita berada? Telah sadarkah kita bahwa ibu kita telah, sedang, dan akan
selalu berdoa bagi kita? Belajar dari
kisah Agustinus, kiranya dapat memberi kita inspirasi hidup yang mendalam.
Menutup refleksi singkat ini, saya mengajak kita menyanyikan bersama lagu ini dengan
merenungkan liriknya.
Di waktuku masih kecil gembira
dan senang.
Tiada duka kukenang dan nyaris
kudengar.
Di sore hari yang sepi ibuku
bertelut.
Sujud berdoa kudengar, namaku
disebut.
Reef:
Di doa ibuku, namaku disebut.
Di doa ibuku dengar, ada namaku disebut.
(bagi
yang ibunya masih ada, bait kedua tak perlu dinyanyikan)
Sekarang dia telah pergi ke rumah
yang tenang
Namun kasihnya padaku selalu ku
kenang
Terlintas gambar ibuku sewaktu
berteduh
Kembali sayup kudengar ... namaku
disebut.
In Memori 06, Mei, 2012
Komentar
Posting Komentar