MENGASIHI ALLAH DAN SESAMA MANUSIA, TIANG UTAMA AGAMA
Sebuah bangunan yang berdiri akan
kuat, jika bangunan tersebut memiliki tiang-tiang utama yang kokoh. Tentunya
bangunan tersebut harus berada di tempat yang tepat, di tanah yang berbatu dan
bukannya didirikan di atas pasir. Jika sebuah bangunan didirikan di atas pasir,
meskipun menggunakan bahan-bahan yang berkualitas tetap saja akan roboh karena
goncangan angin dan badai. Begitu pun dengan bangunan yang dibangun di atas
tanah yang baik, jika dibangun dengan bahan-bahan yang baik maka bangunan
tersebut akan berdiri dengan kokoh. Pada intinya, jika ingin memiliki bangunan
yang baik dan yang kokoh, maka bangunan itu harus dibangun di tempat yang baik
dan dengan bahan-bahan yang baik.
Membangun sebuah negara yang adil
dan sejahtera di negara Indonesia yang serba majemuk ini, juga memerlukan
tiang-tiang utama/penyangga yang kuat agar sebuah bangsa/negara ini dapat
berdiri dengan kokoh. Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi tiang-tiang utama
tersebut? Paling tidak, agama memberi harapan kepada kita untuk menjalankan
fungsi sebagai tiang utama. Mengapa harus agama? Dengan agamalah kita melihat
harapan tentang penanaman nilai-nilai kebaikan dalam hidup. Kehadiran agama-agama
di Indonesia niscaya mengajarkan sesuatu nilai keabaikan dalam hidup, dan di
dalamnya terdapat ajaran tentang mengasihi, yakni mengasihi Allah dan manusia.
Terlepas dari praktek keagamaan masing-masing (ritual, doktrin, akidah dll)
yang berbeda, namun prinsip ajaran tentang mengasihi Allah dan sesama manusia
dianut oleh agama-agama di Indonesia.
Jika demikian, dapat dikatakan
bahwa agama merupakan bentuk ekspresi manusia terhadap tindakannya untuk
mengasihi Allah dan juga manusia. Agama yang ada (khususnya di Indonesia)
idealnya merupakan ekspresi untuk menyatakan kasih tersebut. Namun ironisnya,
kenyataan berjalan berlawanan. Agama dipakai sebagai alat untuk memamerkan power,
untuk menindas yang lain. Berbagai tindakan anarkis diusung dengan membawa
label agama. Organisasi-organisasi yang begitu arogan, juga diberi nama agama.
Agama[1]
yang idelanya menciptakan kedamaian, malah menjadi alat pemicu kekacauan dan
kekerasan. Paimoen dalam tulisannya,[2]
mengatakan: “kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Yang dapat
menyelesaikan masalah adalah pendekatan yang penuh kasih dan pengertian”.
Pertanyaannya adalah, apakah sikap anarkis dan arogansi kelompok-kelompok
tersebut bisa mewakili agama tersebut? Ibarat pepatah “nila setitik merusak
susu sebelangga” itulah gambaran sepintas kehidupan beragama di Indonesia.
Jika demikian, perlukah kita bersifat
pesimis dalam kehidupan berbangsa dengan kenyataan beragama seperti di
atas? Gambaran yang sering muncul
merupakan nila setitik, di dalam kehidupan berbangsa ini. Masih ada susu
sebelangga ! Memang setitik nila merusak, namun perlu dengan cepat mengupayakan
susu sebelangga itu agar bisa dinikmati. Segelintir orang mungikn suka membuat
kekacauan, tapi ada banyak orang yang mencintai kedamaian di Indonesia. Kedamaian
perlu diupayakan, karena itu kedamaian perlu diperjuangkan. Dengan kedamaian,
rakyat menikmati keadilan, tetapi sebaliknya, dengan kekacauan rakyat merasakan ketidakadilan. Kedamaian tersebut
perlu diupayakan dengan merefleksikan tentang mengasihi. Baik mengasihi Allah,
dan juga sesama manusia. Bukankah kasih diajarkan oleh semua agama di
Indonesia? Atau hanya sebagian agama saja? Hanya Islam yang mengajarkan kasih,
ataukah Kristen, atau Budha? Tentunya semua agama mengajarkan kasih itu,
terlepas dari penafsiran masing-masingnya tentang tindakan mengasihi itu. Untuk
itu perlu sejenak untuk berefleksi tentang kehidupan beragama kita, terutama
tentang mengasihi.
Belajar Dari
Alkitab (sebuah refleksi bersama)
Meskipun di dalam ajaran agama
yang lain ada menceritakan tentang kasih, namun izinkanlah saya sebagai seorang
Kristen, untuk memberikan sebuah refleksi tentang kasih di dalam Alkitab.
Di
dalam Alkitab, khususnya Injil sinoptik[3]
terdapat sebuah kisah yang menarik tentang “Hukum yang terutama”. Bagian ini
dicatat dalam Matius 22:34-40, Markus 12:28-34, dan Lukas 10:25-28. Bagian ini
diceritakan dengan narasi yang berbeda-beda, namun saling melengkapi antara
satu dengan yang lainnya. Untuk itu perlu dilihat ketiga bagian teks Alkitab
tersebut. Secara garis besar, bagian ini menceritakan tentang diskusi/tanya
jawab antara Yesus dan golongan-golongan kerohanian pada waktu itu (Farisi,
Saduki, dan Ahli-ahli Taurat). Pokok diskusinya adalah hukum mana yang terutama
diantara sekian banyak hukum yang ada pada waktu itu.
Sekilas
gambaran cerita menutut ketiga versi.
Cerita
Menurut Matius 22:34-40
Dikisahkan bahwa seorang Ahli
Taurat bertanya untuk mencobai Yesus, setelah Yesus membuat orang-orang Saduki
itu bungkam dengan diskusi tentang kebangkitan (lihat Matius 22:23-33). Orang-orang
Farisi dalam cerita ini berfungsi sebagai pelapor.Pertanyaan
tentang hukum mana yang terutama, dijawab Yesus dengan mengatakan: “Kasihilah
Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dngan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama
dan pertama (ayat 37-38). Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah:
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (ayat 39)”. Yesus menyimpulkan
diskusi itu dengan mengatakan: “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh
hukum Taurat dan kitab para nabi.”
Cerita
Menurut Markus 12:28-34
Markus
menggambarkan sedikit berbeda, dimana seorang ahli Taurat tertarik kepada Yesus
karena memberikan jawaban dengan tepat kepada orang-orang Saduki. Pertanyaan
yang disampaikan pun masih sama tentang “Hukum yang terutama”. Jawaban Yesus
pun hampir sama, tetapi Dia mengutip Syema Israel[4] di bagian awal
jawabannya (ayat 29). Kesimpulan yang diberikan Yesus dengan mengatakan: “Tidak
ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Hampir mirip dengan diceritakan Matius. Namun
yang paling berbeda ialah Markus menceritakan tentang respons yang benar dari ahli
Taurat itu (ayat 32-33). Cerita ini ditutup dengan pujian Yesus kepada ahli
Taurat itu (ayat 34).
Cerita
Menurut Lukas 10:25-28
Lukas
juga menarasikan berbeda dari Matius dan Lukas. Bagaian ini merupakan sebuah
awal dari cerita tentang “Orang Samaria yang murah hati” (ayat 30-35). Motivasi
dari ahli Taurat tersebut ingin mencobai Yesus dengan pertanyaan yang sama
tentang “Hukum yang terutama” tetapi pertanyaan sebelumnya ialah: “apa yang
harus diperoleh untuk memperoleh hidup yang kekal?” pertanyaan tentang “Hukum
yang terutama” dijawab sendiri oleh ahli Taurat itu (ayat 27), tetapi yang
menjadi pertanyaan terbesar ialah ”siapakah sesamaku manusia?” (ayat 29).
Dengan pertanyaan inilah, Yesus tidak langsung menjawabnya, tetapi memberikan
perumpamaan tentang “Orang Samaria yang murah hati” (ayat 30-35)[5].
Di akhir perumpamaan itu, Yesus menanyakan kepada ahli Taurat itu tentang siapa
sesamanya manusia, dan siapa yang menunjukan kasih terhadap orang yang malang
itu (ayat 36)? Ahli Taurat itu menjawab: “orang yang telah menunjukan belas
kasihan kepada yang malang itu” (ayat 37). Walaupun ahli Taurat tidak menjawab
dengan tegas bahwa yang menjadi sesama manusia adalah orang Samaria, tetapi dia
telah mendapat satu pencerahan dari cara pandangannya yang salah. Yesus
kemudian menyuruhnya melakukan apa yang ia ketahui tentang hal mengasihi (ayat
37).
Kelompok-kelompok
orang dalam teks Alkitab
Jika kita telah melihat gambaran
teks Alkitab mengenai hukum yang terutama dalam cerita Alkitab (Matius 22:34-40,
Markus 12:28-34, dan Lukas 10:25-28), maka perlu juga kita melihat
golongan-golangan orang yang terdapat dalam kisah tersebut dengan fungsi dan
perannya masing-masing. Juga apa yang menjadi pandangan teologis mereka
terhadap ajaran pada waktu itu tentang hukum Taurat, sehingga di akhirnya dapat
kita lihat relevansinya dengan praktek keagamaan di Indonesia.
Ahli Taurat
Sekembalinya bangsa Israel dari
pembuangan di Babel, segeralah timbul bahaya, bahwa bangsa itu akan jatuh lagi
ke dalam dosa penyembahan berhala dan takhyul, yang pada masa dulu sangat
merusak seluruh kehidupan mereka. Pada masa itu terutama Ezra dan Nehemia-lah
yang, atas perintah Allah, memperingatkan, supaya Taurat yang diberikan oleh
Allah dengan perantaraan Musa, jangan dilupakan. Pada abad-abad sesudah Ezra,
yang penuh kesulitan dan perjuangan itu, golongan saleh dari Israel pun
berikhtiar untuk menuruti hukum-hukum Allah dengan cermat sekali. Timbulah di
antara bangsa itu kaum “ahli Taurat” yaitu orang-orang yang mempelajari Taurat
Musa dari hari ke hari, dan mengajarkannya kepada rakyat umum.[6]
Orang-orang ahli Taurat itu sangat disegani
rakyat, mereka dianggap sebagai para utusan Allah, sebagai “orang-orang alim”
yang dipuji oleh malaikat-malaikat di sorga pula. Hampir di setiap kota penting
di Yudea dan Galilea ada seorang ahli Taurat. Mereka itulah yang mengajarkan
agama kepada anak-anak, serta menjelaskan kepada orang-orang dewasa, bagaimana
kehendak Tuhan.[7]
Para ahli Taurat sendiri
menganggap dirinya sebagai pengikut Ezra. Tetapi ada perbedaan yang sangat
besar sekali antara ajaran Ezra dan para ahli Taurat di kemudian hari.
Perbedaan itu dapat disimpulkan sebagai berikut, bahwa para ahli Taurat pada
maa hidup Yesus tidak mengakui arti- hakiki Taurat sebagai peraturan
Perjanjian. Mereka bukan melihat Tuhan dari sudut jaminan karunia Allah yang
menyelamatkan (“Akulah Tuhan Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah
Mesir, dari tempat perbudakan”), melainkan sebagai suatu jalan yang sukar dan
pelik untuk membenarkan diri dengan melakukan Taurat itu. Karena itulah mereka
tidak puas dengan Taurat saja, tetapi mereka tambahkan pula banyak
peraturan-peraturan lain.[8]
Jadi bukan Taurat (Torah) saja
yang diajarkan, tetapi bermacam-macam tambahan pula. Tambahan-tambahn itu
berdasarkan tradisi lisan yang diwariskan oleh orang tua-tua. Misalnya
dikatakan, bahwa dulu pernah seorang ahli Taurat yang termasyhur namanya,
berkata bahwa pada hari Sabat orang tidak boleh berbuat ini dan itu. Ucapan
demikian oleh mereka disamakan dengan Taurat Musa. Semua cerita turun-temurun
itu dikumpulkan dan disampaikan dari bapa kepada anak. Tradisi lisan itu dapat
kita samakan dengan “Hadith” dalam agama Islam. Sebagaimana seorang Islam, di
samping “Qur’an” juga menganggap “Hadith” sebagai sumber pengetahuan, begitu
juga seorang Yahudi pada masa hidup Yesus percaya bukan saja pada Taurat saja,
tetapi juga kepada tradisi turun-temurun itu. Warisan turun-temurun itu dapat
kita bagi atas dua bagian. Yang pertama disebut Halakah (dari kata-kerja halak,
artinya berjalan, bertindak, bertingkahlaku). Jadi Halakah artinya: perjalanan,
tindakan, tingkahlaku.[9]
Dalam Halakah itu termasuk
berupa-rupa peraturan yang dibuat oleh ahli-ahli Taurat itu sendiri. Misalnya disebut
39 macam pekerjaan yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat: orang tidak
boleh memetik buah gandum, tidak boleh berjalan lebih dari 2.000 hasta jauhnya
(800 meter-seperjalanan pada hari Sabat), hanya boleh menolong orang sakit,
kalau ada bahaya maut, tidak boleh menguraikan sebuah simpul ikat, dan
sebagainya. Peraturan-peraturan yang demikian dan beribu-ribu lagi yang lain
terdapat dalam Halakah itu. Terutama banyak juga tentang kebersihan. Orang
harus mencuci tangan sebelum makan, dan pada waktu sedang makan, tiap kali
disajikan santapan baru. Ditetapkan pula bagaimana cara mencuci tangan itu dan
berapa banyak air harus dipakai.[10]
Bagian kedua dari tradisi itu
disebut Hagadah (berasal dari suatu kata-kerja yang artinya bercerita,
menceritakan). Dalam bagian itu diceritakan tentang perkataan dan perbuatan
orang-orang besar. Bukan tentang Taurat saja, melainkan juga misalnya tentang
kedatangan Mesias, pengadilan yang akan datang dan bermacam-macam soal lain.[11]
Pada masa hidup Tuhan Yesus semua
tradisi itu belum dituliskan. Cerita-cerita itu disampaikan turun-temurun
secara lisan. Di kemudian hari barulah dikumpulkan dan dituliskan. Dari tradisi
turun temurun itulah timbul Talmud,
yaitu kitab yang hingga sekarang dianggap oleh bangsa Yahudi sebagai sumber
pengetahuan tentang tugas kewajiban manusia. Sudah barang tentu bangsa Yahudi
tahu bahwa tradisi itu hanyalah penjelasan dan uraian tentang Taurat Musa.
Taurat Musa itulah yang tetap dianggap sebagai dasar seluruh paham tentang
tugas kewajiban. Akan tetapi dalam kenyataan sehari-hari, Taurat Musa sering
menjadi tak berdaya, oleh karena tradisi dan oleh syarat-syarat yang dibuat
para ahli Taurat itu (Matius 15:6)[12]
Sejalan dengan itu, Maheswara mengatakan: “Talmud berarti kitab ajaran agama
dan kepribadian Yahudi. Orang Yahudi berkeyakinan bahwa Talmud setingkat dengan
Taurat dan dianggap lebih agung”.
Dengan melihat peran
dan fungsi dari ahli Taurat pada masa hidup Yesus berkaitan denganhukum
Taurat, dapat diambil beberapa kesimpulan sementara sebagai berikut: pertama,
para ahli Taurat pada zaman Yesus memegang peranan penting dalam kehidupan
sosial dan keagamaan. Mereka berhak “menafsirkan” hukum Taurat yang diberikan
Tuhan melalui Musa dengan pandangan mereka sendiri. Dengan demikian penafsiran
subjektif semakin banyak tentang apa yang harus dilakukan pada masa itu. Ini
dapat dilakukan oleh para ahli Taurat karena mereka sangat disegani oleh umat
Yahudi pada waktu itu. Kedua, penfsiran tambahan yang dilakukan oleh para ahli
Taurat ( Halakah dan Hagadah ) bersifat legalistik, dan hanya kelompok mereka
yang dianggap memiliki wewenang untuk menfsirkan Taurat pada waktu itu. Ketiga,
Talmud menjadi lebih penting dibandingkan dengan Taurat. Inilah yang menjadi
sumber banyak perdebatan antara Yesus dan para ahli Taurat. Yang
ditentang/diperdebatkan Yesus dengan kelompok ini bukan karena masalah hukum
Taurat, tetapi penfsiran akan Taurat (Talmud) yang sedemikian membebani umat
Yahudi pada waktu itu.
Sebagaimana yang dikatakan Yesus
dalam Matius 15:17 “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan
hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadaknnya,
melainkan untuk menggenapinya”. Pandangan Yesus berbeda sekali dengan pandangan
umum para ahli Taurat tentang hukum Taurat. Misalnya tentang 39 macam pekerjaan
yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat: orang tidak boleh memetik buah
gandum, tidak boleh berjalan lebih dari 2.000 hasta jauhnya (800
meter-seperjalanan pada hari Sabat), hanya boleh menolong orang sakit, kalau
ada bahaya maut, tidak boleh menguraikan sebuah simpul ikat, dan sebagainya.
Peraturan-peraturan yang demikian dan beribu-ribu lagi yang lain terdapat dalam
Halakah itu. Ini jelas ditentang oleh Yesus, yang tercatat dalam kisah
murid-murid memetik gandum para hari Sabat (Matius 12:1-8; Markus 2:23-28;
Lukas 6:1-5). Reaksi-reaksi dari Yesus ini bukan menunjukan bahwa Dia menentang
hukum Taurat, tapi sebaliknya, Dia mau meluruskan praktek yang bertentangan
dengan hakikat Taurat itu. Yang ditentang adalah penfsiran akan Taurat itu.
Menyangkut dengan hukum yang terutama (hal kasih-mengasihi) Yesus pun berbeda
pandangan dengan para ahli Taurat waktu itu.
Kaum Saduki
Pemisahan kelompok-kelompok
tersebut makin nyata mulai abad 2 S.M. Dan pada abad pertama Masehi
kelompok-kelompok tersebut nampak sudah berdiri sendiri-sendiri dengan
identitasnya masing-masing. Kelompok yang sekarang menjadi perhatian kita
adalah kelompok Saduki.[13]
Nama ‘Saduki’ mungkin berasal
dari nama ‘Zadok’ yaitu nama imam agung yang hidup pada zaman raja Daud. Tetapi
hubungan antara ‘Saduki’ dan ‘Zadok’ itupun hanya dugaan saja. Orang-orang
Saduki merupakan kelompok imamat yang kaya, dan yang perhatiannya terpusat pada
Bait Allah. Mereka berbeda dengan kelompok Farisi. Dengan hancurnya Bait Allah
dengan konsekuensi-konsekuensinya, kelompok Saduki itupun makin surut dan
akhirnya lenyap.[14]
Jabatan imam besar pada umumnya
diduduki oleh orang Saduki. Tapi hal itu tidak berarti bahwa semua orang Saduki
adalah imam. Malah ada kemungkinan banyak orang awam yang kaya dan tuan-tuan
tanah yang menjadi kelompok tersebut. Melihat ciri khusus dari keanggotaan
kelompok Saduki, kita dapat mengatakan bahwa anggota-anggotanya terdiri dari
orang-orang yang berlatar belakang tertentu; dan kebanyakan berpandangan konservatif. Seluruh
kegiatan serta peraturan-peraturan yang berlaku dalam kelompok tersebut
menunjukan bahwa orang-orang Saduki itu kurang terlibat di dalam perkembangan
pikiran yang populer. Dan keterlibatan dalam politik mereka anggap sebagai
menurunkan derajat kedudukan mereka di mata masyarakat.[15]
Pemahaman orang Saduki akan kitab
suci sanhgat bersifat hurufiah. Hal ini bertentangan dengan pemahaman orang
Farisi. Bahkan orang Saduki menolak tradisi lisan yang diperkembangkan oleh
orang-orang Farisi. Berdasarkan pemahaman hurufiah seperti itu orang-orang
Saduki lalu menolak ajaran tentang kebangkitan orang mati, pahala dan hukuman
masa datang, malaikat, roh-roh dan pemeliharaan Allah. Kenyataan itu sekarang
secara sepintas tercatat di dalam Matius 22:23, Kisah Para Rasul 23:8 serta
tulisan-tulisan Yosefus. Dan sama seperti para aristokrat serta pejabat-pejabat
gereja pada umumnya, orang-orang Saduki itupun nampak kurang berminat dengan
soal teologi.[16]
Dengan demikian dapat dilihat
bahwa konflik antara Yesus dan kelompok ini tidak banyak terjadi. Perdebatan
terlatak pada masalah konsep kepercayaan orang Saduki saja. Ini bisa dilihat
dari kisah seorang ahli Taurat yang bertanya untuk mencobai Yesus, setelah
Yesus membuat orang-orang Saduki itu bungkam dengan diskusi tentang kebangkitan
(lihat Matius 22:23-33). Konsep tentang masalah teologi (hal kasih-mengasihi)
nampaknya tidak mendapat perhatian oleh kelompok ini.Dengan demikian dapat dilihat
bahwa konflik antara Yesus dan kelompok ini tidak banyak terjadi. Perdebatan
terlatak pada masalah konsep kepercayaan orang Saduki saja. Ini bisa dilihat
dari kisah seorang ahli Taurat yang bertanya untuk mencobai Yesus, setelah
Yesus membuat orang-orang Saduki itu bungkam dengan diskusi tentang kebangkitan
(lihat Matius 22:23-33). Konsep tentang masalah teologi (hal kasih-mengasihi)
nampaknya tidak mendapat perhatian oleh kelompok ini.
Kaum Farisi
Meskipun para ahli Taurat sering
diceritakan dalam hubungannya dengan para Farisi, kita harus tetap ingat bahwa
di antara keduanya ada perbedaan yang besar. Tidak semua orang Farisi pernah
menempuh pendidikan atau latihan ahli Taurat. Kelompok Farisi sebenarnya adalah
kelompok kaum awam yang sejak semula ingin merangkul seluruh orang Yahudi. Arti
dari nama “Farisi” belum dapat dipastikan. Namun pada umumnya nama tersebut
dimengerti sebagai yang berarti ‘orang-orang yang dipisahkan’.[17]
Kalau kita ingin membedakan antar
para ahli Taurat dan para Farisi, maka kita dapat mengatakan, bahwa para ahli
Taurat mempunyai minat utama pada soal-soal teologis, sedangkan para Farisi
pada soal-soal ritual peribadahan. Sebagai orang-orang yang dipisahkan, maka
para Farisi berusaha keras untuk memisahkan diri mereka dari segala cacat-cela
dan noda. Namun pembedaan seperti itu sebenarnya belum cukup. Mengapa? Karena
untuk bisa memisahkan diri dari segala yang bercacat-cela orang harus memahami
hukum dan penafsirannya. Dan untuk itu maka jasa para ahli Taurat tidak bisa
dielakkan. Itulah sebabnya maka para pemimpin orang Farisi adalah selalu ahli
Taurat. Sejak tahun 70 S.M. para Farisi sudah berhasil masuk ke dalam
Sanhedrin. Dan sejak itu mereka tidak pernah kehilangan kuasa dan pengaruhnya
di dalam Sanhedrin.[18]
Para Farisi adalah orang yang
berjuang di dua medan. Di medan yang satu mereka berjuang untuk mempertahankan
kemurnian ke-Yahudi-an dalam menghadapi ‘penduduk negeri’ yang kurang
memperhatikan hukum-hukum agama. Perjuangan ini menghasilkan beratus-ratus
hukum dan peraturan, yang oleh para penulis kitab Injil dianggap kejam. Di
medan yang kedua, mereka menentang para Saduki untuk memperoleh kedudukan
sebagai pemimpin umat.[19]
Para Farisi itu secara tegas
membedakan hukum yang tertulis dan hukum atau tradisi lisan. Hukum yang
tertulis harus dipelajari, ditafsirkan, dan dijabarkan di bawah terang tradisi
lisan, untuk memenuhi keadaan dan waktu yang berubah-ubah. Tradisi lisan itu
bertugas untuk menjaga dan mengamankan hukum yang tertulis itu. Itulah sebabnya
maka dari hukum yang Sepuluh (Dekalog), muncullah 613 buah peraturan dan
ketentuan, yang dipakai untuk menghadapi segala kejadian dan kemungkinan.
Dengan demikian maka, menurut para Farisi, Dekalog tersebut akan tetap berlaku
dan aman.[20]
Dapat disimpulkan bahwa peran
orang Farisi di sini dalam “mengembangkan” tradisi lisan dapat menjadi
penafsiran yang lebih rumit dari biasanya. Dengan penafsiran tersebut, seorang
dapat menafsir secara subjektif, dan itu berarti menghilangkan pesan yang
hakiki dari Taurat itu sendiri. Hukum Taurat yang hanya Sepuluh (Dekalog)
dijabarkan menjadi 613 buah. Ini jelas berbeda dengan pandangan Yesus yang
hanya menyimpulkannya menjadi dua hukum saja, yang disebut “hukum yang terutama
dan pertama”. Yesus dengan mengatakan: “Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dngan segenap akal budimu. Itulah hukum yang
terutama dan pertama (cerita menurut Matius 22:37-38). Dan hukum yang kedua, yang sama
dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:39)”.
Yesus menyimpulkan diskusi itu dengan mengatakan: “Pada kedua hukum inilah
tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
Implikasi Teks
Dari uraian di atas dapat diambil
beberapa point penting untuk diaplikasikan di dalam kehidupan beragama di
Indonesia.
Hal yang terutama
Dari uraian (cerita) di atas,
kita melihat bahwa ketiga golongan orang yang hidup pada zaman Yesus (Ahli
Taurat, Farisi dan Saduki) seringkali tidak sejalan dengan pemahan Yesus
tentang hukum Taurat. Namun cerita menurut Markus 12:28-34 memberikan sesuatu yang
berbeda tentang respon yang benar dari ahli Taurat itu (ayat 32-33). Cerita ini
ditutup dengan pujian Yesus kepada ahli Taurat itu (ayat 34). Yesus, dalam hal
ini sejalan dengan ahli Taurat tersebut (bahkan memuji) karena dia dapat
melihat hakikat dari hukum Taurat tersebut. Mengasihi Allah, dan sesama manusia
dengan segala totalitas kehidupan.
Betapa sering dalam kehidupan
beragama di bangsa ini, adanya suatu “krisis” tentang hal mengasihi. Para
pemeluk agama tidak dapat melihat dengan jelas hakikat beragamanya
masing-masing. Hal-hal mengenai prinsipil agama (doktrinal, akidah dsbnya)
lebih diutamakan ketimbang praksis beragama itu. Jika ada yang berbeda dengan
pandangan kelompok seseorang tertentu,
kelompok itu dianggap sebagai kafir, dan mungkin respon dari “keberlainan” itu
ialah menyerang dengan hujatan bahkan dengan aksi-aksi brutal yang tidak
mencerminkan orang yang beragama. Kelompok tersebut, jika dilihat sebenarnya
mengidap phobia tertentu. Phobia tersebut dinamakan heterofobia[21].
Pertanyaanya,
mengapa kelompok-kelompok ini takut bergaul dengan yang berbeda, atau bahkan
lebih ekstrimnya lagi menindas yang berbeda? Padahal jelas bahwa manusia itu
memang berbeda; budaya berbeda, agama berbeda, keyakinan berbeda dsbnya di
konteks Indonesia yang majemuk ini. Kemungkinan terbesar adalah mereka
beranggapan bahwa dengan memiliki sikap tersebut, mereka dapat “membela Allah”.
Allah perlu dibela, jika tidak sesuai dengan ajaran mereka, meskipun melakukan
tindakan yang arogan sekalipun. Sejalan dengan itu, C.S Lewis mengatakan: "ketika
kita berkata kita sedang membela Allah, seringkali itu berarti bahwa kita
sedang membela diri sendiri. Dengan berkeras telah bersikap benar kita justru
membuat diri kita menarik diri dan tidak terbuka dengan pandangan orang lain". [22]
Allah dibela dengan kekerasan,
dengan demikian tidak ada kasih. Sungguh ironis memang, Allah yang penuh kasih
diidentikan dengan kekerasan sekelompok orang ! Namun, jika kelompok ini diberi
label “agama/organisasi perang” kemungkinan besar mereka akan menolaknya, tapi
senang jika diberi label “agama/organisasi damai atau kasih”. Singkatnya
hal-hal yang menjadi prinsip agama itu lebih diutamakan sekalipun dalam
prakteknya bertentangan. Hal terutama dalam beragama tentang mengasihi
diabaikan, padahal ini yang diajarkan/diperintahkan Tuhan. Sedangkan hal
“membela Allah” diutamakan dengan
berbagai cara, padahal ini bukan hal kedua, ketiga atau seterusnya,
bahkan hal ini tidak diajarkan/diperintahkan Tuhan. Siapakah Tuhan sehingga
perlu dibela?
Ini yang kita temukan di dalam
bacaan kita, dimana ahli Taurat dan para Farisi tidak mau melakukan hal yang
terutama tetapi menyibukan diri dengan hal-hal lain yang tidak penting, bahkan
tidak diperintahkan Tuhan (penafsiran akan Taurat yang secara mendetail). Yang
Tuhan kehendaki adalah praktek mengasihi, bukan konsep teologis yang terlalu
memberatkan sehingga hal yang terutama itu diabaikan. Ini yang diperintahkan
Yesus dalam cerita menurut Lukas 10:25-37. Walaupun ahli Taurat tidak menjawab
dengan tegas bahwa yang menjadi sesama manusia adalah orang Samaria, tetapi dia
telah mendapat satu pencerahan dari cara pandangannya yang salah. Yesus
kemudian menyuruhnya melakukan apa yang ia ketahui tentang hal mengasihi (ayat
37). Jika dalam kepercayaan kita ada hal mengasihi, maka lakukanlah itu, bukan
jelaskanlah itu.
Pembahasan ini bukan berarti kita melepaskan
kepercayaan (doktrin, akidah, ritual dsbnya) kita masing-masing. Tetapi sebaliknya,
membuat kita merefleksikan diri kita sebagai umat beragama yang memiliki kasih
terhadap Tuhan dan sesama dalam konteks Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan
Andar Ismail:[23]
“Berpegang teguh pada akidah agama kita bukan berarti menutup diri pada akidah
agama lain. Kita bisa menghargai akidah agama lain tanpa mengurangi akidah agama
kita sendiri”.
Ironisnya di Indonesia ada banyak
kelompok yang masih “anti” terhadap kemajemukan/pluralitas. Bahkan ada kelompok
yang tidak segan-segan mengeluarkan label kafir terhadap yang berbeda.
Mengucapkan selamat hari raya pun dianggap telah melanggar doktrin agama.
Inilah gambaran “ahli Taurat masa kini”, dimana pemimpin-pemimpin agama tidak
mau melihat hal yang terutama tapi cenderung melihat hal-hal lain di luarnya.
Kasih Sebagai Tiang Utama
Sebagaimana analogi yang terdapat
di bagian awal, bahwa jika ingin membuat sebuah bangunan diperlukan tiang-tiang
utama/penyangga agar bangunan tersebut menjadi kuat. Pertanyaannya bangunan
seperti apa yang hendak kita bangun. Apakah bangunan yang seperti Monas, yang
hanya sebuah monumen untuk dilihat, ataukah bangunan seperti sebuah rumah yang di
dalamnya kita dapat tinggal bersama. Jika hanya ingin membangun sebuah monumen
seperti Monas, itu berarti bangunan tersebut hanya sebuah bangunan yang
memperlihatkan eksistensi bangsa Indonesia dari dulu hingga sekarang dan dapat
dilihat semua orang. Barangkali kita perlu membangun sebuah “rumah bersama”
untuk ditinggali dan bukan sebuah monumen.
Rumah bersama berarti ada suasana kekeluargaan , kehangatan di dalamnya. Di bagian daerah Nusantara yang lain seperti di Bacan, konsep hidup bersama telah disepakati dengan istilah "saruma" atau satu rumah. Dengan kesepakatan ini perbedaan dirangkul dan dirayakan sebagai anugerah dari Tuhan. Secara nasional spirit ini perlu dikumandangkan agar semua warga perlu merasa bahwa Indonesia adalah rumah bersama bagi semua umat beragama ataupun sistem kepercayaan lain.
Untuk membangun sebuah “rumah bersama” diperlukan
tiang-tiang utama/penyangga yang kuat. Tiang-tiang itu adalah kasih-mengasihi.
Ini pasti dimiliki oleh setiap umat beragama, tetapi yang menjadi persoalannya
apakah tiap umat beragama menyadari akan hal itu? Jika umat beragama di
Indonesia menyadari bahwa hal mengasihi Allah dan sesama manusia merupakan
sebuah “tiang utama” maka tiang tersebut harus difungsikan, dan dengan demikian
tiang itu dapat memberi kontribusi untuk
membangun tiang “rumah bersama” yang layak didiami.
Sering kita dengar sebuah kata yang tidak asing
lagi, jika berbicara mengenai kehidupan beragama di Indonesia. Kata itu ialah
“dialog”. Dialog lintas agama selalu dilakukan oleh berbagai kelompok agama
yang berbeda di Indonesia. Namun apakah yang menjadi sifat dasar dari dialog
itu sendiri? Vale`e berpendapat bahwa sifat dialog itu harus didasarkan pada
cinta kasih itu sendiri. Ia mengatakan demikian [24]:
“Cinta kasih selalu berusaha mencari hubungan. Pengalaman kami tentang hubungan
Tuhan dengan kami mewajibkan kami untuk berhubungan dengan orang-orang dari
kepercayaan lain. Sifat dasar dialog adalah kesiap-sediaan tulus untuk
mendengarkan orang yang kita ingin ajak bergaul. Kepentingan kita bukanlah
terletak dalam memenangkan perbantahan”.
Benar, apa yang dikatakan Vale`e, bahwa, jika
dialog terus diadakan namun motivasi dari dialog itu untuk menunjukan
superioritas agama yang satu dari agama yang lain, maka dialog itu tidak
berdampak apa-apa bagi kehidupan bersama. Sebaliknya, jika cinta kasih menjadi
dasar dari dialog maka akan terciptanya suasana saling menerima dari segala
perbedaan yang ada.
Jika demikian, dapat dikatakan bahwa, pengalaman
tentang Tuhan harus berdampak kepada kehidupan bersama. Dengan kata lain, mengasihi Allah harus juga
diekspresikan dengan mengasihi sesama. Jika mengasihi Allah dan sesama kita
pakai sebagai tiang utama agama untuk membangun “rumah bersama”, maka setiap
umat beragama wajib untuk menyumbangkan tiang itu untuk dapat membangun rumah
tersebut; rumah yang kokoh, rumah yang layak dihuni. Rumah itu ada di Nusantara
tercinta.
Sebuah tiang akan tetap menjadi
sebuah tiang, jika tiang itu tidak difungsikan untuk membangun. Agama-agama di
Indonesia tidak hanya menyadari bahwa ia memiliki “tiang utama” tetapi juga
harus disumbangkan untuk membangun kehidupan bersama. Mengasihi Allah dan juga
sesama bukan saja dalam golongan/kelompok kita sendiri, tapi lebih diri itu
mengasihi yang dianggap berbeda dari golongan/kelompok sendiri. Ini yang
ditunjukkan dengan jelas oleh Yesus dalam perumpamaan tentang “orang Samaria
yang murah hati” (Lukas 10:25-37). Jika kita mengakui bahwa kita adalah umat
beragama yang mengasihi Allah, itu berarti kita juga dituntut untuk mengasihi
sesama kita yang berbeda, yang juga adalah ciptaan Allah. Kasih itu bukan saja
bersifat vertikal tapi juga horisontal. Semoga kita diberikan kekuatan oleh
Tuhan untuk melakukan kasih itu.
Saya menutup bagian tulisan yang
merupakan sebuah refleksi bersama ini dengan sebuah bagian ayat Alkitab yang
begitu indah yang ditulis oleh Rasul Paulus. “Sekalipun aku dapat berkata-kata
dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak
mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang
gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui
segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki
iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai
kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala
sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika
aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku. Kasih itu
sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan
tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan
diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia
tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran.
Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala
sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu”. (1 Korintus 13:1-7)
Daftar Pustaka
Bavinck, 2009, Sejarah
Kerajaan Allah 2, Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Cooper.
D Terry, 2014, Menilai Tanpa Menghakimi, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ismail
Andar, 2014, Selamat Berpadu (33 renungan
tentang perbedaan), Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Maheswara, 2010, Rahasia Kecerdasan Yahudi, Yogyakarta:
Pinus
Sitompul, Einar (editor), 2005, Agama-agama Kekerasan & Perdamaian,
Bidang Marturia PGI.
Schumann Olaf, 1982,
Dialog Antar Agama (dari manakah
kita bertolak?), Semarang: Percetakan Satya Wacana.
Wahono Wismoady, 2011, Di Sini Kutemukan, Jakarta :BPK Gunung Mulia.
[17] Ibid hlm 328
[12] ibid
[5] Secara umum, Orang Samaria
dianggap sebagai musuh oleh orang Yahudi pada waktu itu. Jangankan menolong,
bergaul dengan orang Samaria saja dianggap sudah melanggar aturan waktu itu. Dengan
perumpamaan ini Yesus memberi suatu refleksi yang baru terhadap perspektif
orang Yahudi terhadap orang Samaria yang dianggap kafir. Dalam perumpamaan itu,
Yesus memberikan gambaran tentang seseorang yang dirampok tetapi diabaikan oleh
para Imam, dan orang Lewi yang notabanenya adalah rohaniawan pada waktu itu.
Justru sebaliknya, orang malang itu ditolong oleh orang Samaria yang baik
hatinya walaupun dianggap kafir atau bukan manusia, bahkan lebih ironosnya lagi
dianggap binatang dalam pandangan orang
Israel. Sesama manusia dalam perspektif ahli Taurat itu adalah sesama orang
Yahudi saja.
[4] Syema Israel terdapat di kitab Ulangan 6:4-9 dan bagian ini menjadi
pengakuan iman Israel. Syema secara
harafiah berarti Dengarlah.
[3]Yang termasuk Injil sinoptik ialah Injil, Matius, Markus,
Lukas. Sinoptik berasal bahasa Yunani, yaitu: Syn= bersama dan opsis=
melihat. Hal ini mengandung pengertian dari segi isinya, yaitu dapat
disejajarkan atau berdampingan satu dengan yang lainnya. Jadi istilah Injil
sinoptik adalah Injil-injil yang mempunyai kesamaan dalam teknik bercerita,
urutan kronologisnya, maupun gaya bahasa yang digunakan.
[1] Bnd etimologis kata “Agama”.
Dari bahasa Sangsekerta A=tidak, dan Gama= tidak kacau. Jadi secara etimologis Agama berarti tidak kacau
atau tidak ada kekacauan.
[2] Lihat Sitompul, Einar (editor), Agama-agama Kekerasan & Perdamaian,
Bidang Marturia PGI. Dengan tulisannya tentang Kompleksitas Hubungan Agama dan
Kekerasan, Pengalaman Kristen di Indonesia hlm 51.
BalasHapusFirst of all I want to say awesome blog! I had a quick question which I'd like to ask if you don't mind. I was interested to know how you center yourself and clear your head before writing. I have had difficulty clearing my mind in getting my ideas out. I truly do take pleasure in writing but it just seems like the first 10 to 15 minutes are usually lost simply just trying to figure out how to begin. Any suggestions or tips? Thanks! facebook login facebook login
Thank You for ur comment, I really appreciate it. First, u have to try to find some inspiration like go to some places you want, favorite places. And than if I got some ideas to write I waiting the right time to start writing, in good situation, at the quite place and the last is finish what u have to start. I hope u can find ur way to write something you really like
BalasHapus