PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK: TANTANGAN & HARAPAN
Pengantar
Dalam sejarah perkembangan PAK,
perubahan sering terjadi di dalam berbagai bentuk pelaksanaannya. Misalnya pada
abad-abad pertengahan PAK didesain untuk bisa diajarkan kepada orang yang baru
saja menjadi Kristen dengan jumlah yang banyak. Maka metode untuk melaksanakan
PAK ialah dengan menggunakan gambar-gambar, patung-patung yang digunakan
sebagai saran PAK. Segi arsitektur bangunan gereja sangat penting sebagai sarana
PAK. Lewat arsitektur bangunan gereja inilah simbol dan ikon dalam kekristenan
digunakan. Sherril menulis bagaimana sejarah seni bangunan gereja dapat
melambangkan cerita perkembangan gereja itu sendiri.[1]
Demikian juga desain PAK "dituntut" perubahan sesuai dengan situasi
dan kondisi yag ada. Abad reformasi hingga abad 21 memiliki konteksnya
masing-masing. Inilah gambaran singkat, yang mungkin memberikan suatu kesadaran
bagi kita saat ini dan di sini untuk melihat konteksnya masing-masing agar PAK
mendapat tempat semestinya. PAK bukan sebagai produk import, tetapi PAK menjadi
milik orang Asia dan secara khusus Indonesia.
Berikutnya akan kita lihat apa
dan bagaimana konteks kita di sini sehingga PAK bisa diberikan dengan baik.
Tentunya kontent (isinya) tidak begitu banyak perubahan, hanya konteksnya yang
akan dilihat lebih jauh.
Gambaran Sekilas
Konteks PAK Dalam Beberapa Periode
Abad-abad Pertama: PAK diberikan
secara “ketat” dari gereja kepada umat sebelum menjadi anggota sidi gereja,
karena umat harus dilengkapi dengan ajaran yang benar agar tidak disesatkan. Dalam abad kedua misalnya, pendidikan gereja
terhadap calon-calon untuk baptisan orang dewasa telah diatur dengan seksama.
Gereja menuntun supaya mereka belajar selam tiga tahun, baru mereka diuji dan
diterima pada Baptisan dan Perjamuan Suci[2]
Abad Pertengahan: Praktik PAK
semakin merosot karena dominasi gereja yang lebih mementingkan “kristenisasi”
ketimbang aspek pengajaran PAK itu sendiri. Pada masa ini gereja banyak
mendidik melalui Sakramen Baptisan, Sakramen Misa, drama agamawi, seni
lukis/patung dan juga melalui seni bangunan gereja[3]
Abad Reformasi: Praktik PAK
sangat diperhatikan oleh para reformator gereja. Sola Scriptura menjadi
semboyan semangat untuk mengajarkan PAK secara baik dan benar, dan bukan
dilakukan sebagai tradisi gereja. Masa ini diwakili oleh Luther dan Calvin.
Luther menghasilkan karya yang berkaitan PAK yakni Katekismus. Luther
mengaitkan pendidikan dengan teologi atau dengan kata lain teologinya merupakan
dasar teori pendidikannya. Sedangkan Calvin menghasilkan karyanya Institutio.
Abad 17-18: Revolusi industri
membuat PAK bergumul di dalam situasi ketidakadilan terhadap perlakuan manusia
sebagai “mesin” pekerja, namun diupah
tak sebanding (ex: Robert Raikers; pendiri Sekolah Minggu).
Abad 19: Gerakan evangelikal dan
revival berkembang. PAK pada masa ini dititikberatkan pada pertobatan manusia
sebagai manusia berdosa. Inilah tema-tema yang terdapat dalam ibadah-ibadah KKR
pada waktu itu. Lagu-lagunya pun dipilih berkisar tentang tema tersebut,
misalnya Amazing Grace (KJ 40), dan Just As I Am (KJ 27).
Abad 20: Gerakan ekumenis, PAK
dititkberatkan pada hubungan oikumene, ketimbang sikap ekslusif masing-masing
kelompok (ex: hubungan Kristen dan Katolik).
Dari gambaran di atas paling
tidak menunjukan di mana sekarang kita berada. Posisi kita sekarang berada
di abad 21, yang mana masih kental
dengan konteks hubungan oikumene dari abad ke 20. Secara khusus konteks Asia
akan dibahas dalam tulisan ini, karena penggambaran konteks di atas semuanya
lahir dari konteks Eropa dan Amerika. Penjelasan lebih lanjut akan dilihat
nanti, tetapi sebelumnya perlu untuk merumuskan tentang definisi konsep dari
judul tulisan ini.
PEMBAHASAN
PAK Dalam
Masyarakat Majemuk
Ada banyak definisi mengenai
Pendidikan Agama Kristen (PAK) yang diberikan oleh para ahli PAK, namun di sini
dibatasi dengan beberapa pandangan para ahli saja. Misalnya Horace Bushnell pengarang
Christian Nurture, memberikan definisi sebagai berikut: “Pendidikan Agama
Kristen adalah pelayanan kegerejaan yang membimbing orangtua untuk memenuhi
panggilannya sebagai orangtua Kristen, dan sekaligus memperlengkapi warga
jemaat untuk hidup sebagai anggota persekutuan yang beribadah, bersaksi,
mengajar, belajar dan melayani atas nama Yesus Kristus”.[4] Tentu saja
Bushnell memberikan definisi demikian karena ia adalah seorang yang menekankan
PAK dalam keluarga yang menuntut tanggung jawab orangtua di dalam mendidik
anak.
Menurut Enklar & Homrighausen
PAK berarti menerima pendidikan itu, segala pelajar, muda dan tua, memasuki
persekutuan iman yang hidup dengan Tuhan sendiri, dan oleh dan dalam Dia mereka
terhisab pula pada persekutuan jemaat-Nya yang mengakui dan mempermuliakan
nama-Nya di segala waktu dan tempat.[5]
Menurut Calvin: PAK adalah
pendidikan gereja yang mendewasakan umat Allah. Berkaitan dengan hal ini,
Calvin mengutip tulisan Paulus dalam Efesus 4:10.[6]
Dari definisi-definisi di atas
kita dapat melihat perbedaannya masing-masing, karena setiap ahli mempunyai
perspektif tersendiri. Bushnell memberikan definisi berkaitan dengan tanggung
jawab orangtua dalam mendidik anak. Enklar & Homrighausen memberikan
definisi yang berkaitan dengan persekutuan. Sedangkan Calvin mengarahkannya
lebih kepada pembinaan umat. Demikian dari ketiga definisi di atas, dapat
dilihat begitu dinamisnya PAK. Mulai dalam keluarga, gereja, hingga masyarakat
di segala waktu dan tempat.
Dalam tulisan ini, sedikit
menantang kita untuk melihat PAK bukan dalam lingkup keluarga atau gereja,
melainkan melihat dalam lingkup yang lebih jauh, yakni lingkup masyarakat.
Masyarakat yang bagaimana? Masyarakat yang bukan homogen, melainkan heterogen. Bukan
masyarakat Eropa atau Amerika, melainkan masyarakat Asia. PAK ditantang untuk
melihat masyarakat yang serba majemuk dalam konteks Asia.
Konteks
Asia
Antone Hope, dalam bukunya Pendidikan
Kristiani Kontekstual, memberikan banyak gambaran tentang PAK dalam konteks
Asia. Untuk itu, pada pembahasan tentang konteks Asia, akan banyak mengutip pandangan Hope.
Bila ada suatu kata yang dapat
melukiskan dengan tepat wilayah di Asia, kata itu adalah pluralitas atau
kemajemukan. Asia, benua dengan jumlah penduduk yang paling padat di dunia,
merupakan wilayah di dunia yang sangat beragam dari segi budaya, bahasa, suku
bangsa, dan agama. Kemajemukan budaya, bahasa, suku bangsa, dan agam seperti
itu kadang terlihat sebagai sumber kesejahteraan dan kebanggaan. Namun, hal ini
juga dilihat sebagai alasan untuk banyak konflik dan masalah. Memang, ada
orang-orang Asia yang merasa bangga dengan karunia kemajemukan itu.
Namun, ada juga orang-orang yang
mempersalahkan hal ini sebagai salah satu penyebab dari masalah intoleran,
kebencian, dan kekerasan yang terus terjadi di wilayahnya. Namun, kemajemukan
inilah yang menjadikan wilayah Asia seperti itu. Hal ini membuat Asia menjadi
suatu konteks yang bukan monolitik, tetapi mungkin, lebih tepat sekelompok
konteks geografis.
Dari berbagai kemajemukan yang
saling berpaut di Asia, kemajemukan agama dan budaya menjadi realitas utama
yang mencolok untuk dihadapi. Asia mempunyai populasi Muslim paling banyak,
dengan Indonesia yang mempunyai populasi Muslim terbesar di antara semua negara
di dunia. Asia juga mempunyai populasi terbesar dari penganut Budha, Taoisme,
dan Hinduisme. Kekristenan adalah agama minoritas di seluruh wilayah Asia,
kecuali di Filipina di mana agama ini menjadi agama yang paling banyak dianut.
Realitas lain dari konteks Asia
adalah persoalan kemiskinan, perjuangan, dan penderitaan. Sering dikatakan
bahwa pada masa kini, kecuali kematian yang diakibatkan oleh bencana alam, yang
sekarang dan kemudian terjadi, lebih banyak orang mati karena konflik agama dan
suku daripada karena kelaparan atau penyakit. Bagaimanapun, akar konflik agama
dan etnis ini seringkali sungguh-sungguh disebabkan oleh karena ketidakadilan
sosial-ekonomi dan politik.[7]
Tantangan &
Harapan
Jika konteks Asia sudah kita
lihat di atas, menjadi pertanyaannya apa dan bagaimana yang harus dilakukan PAK
di dalam konteks Asia yang demikian. Konteks ini merupakan suatu tantangan tetapi
juga sekaligus harapan.
Tantangan
Menurut KBBI[8],
Tantangan berarti: (1) ajakan berkelahi, (berperang dsb); (2) hal atau objek
yang menggungah tekad untuk meningkatkan kemampuan untuk mengatasi masalah;
rangsangan (untuk bekerja lebih giat); (3) hal atau objek yang perlu
ditanggulangi. Dari definisi tersebut, barangkali definisi kedua yang lebih
cocok untuk melihat pergumulan PAK dalam konteks Asia ini.
Kemajemukan merupakan suatu
tantangan tersendiri bagi masyarakat Asia yang multikultural ini. Berbeda
dengan konteks Eropa dan Amerika yang sudah kita lihat di depan. Apa yang ingin
dilakukan PAK dalam masyarakat plural seperti ini, dan bagaimana melakukannya?
Paling tidak masalah yang dihadapi PAK dan juga teologi hampir sama di dalam
melihat konteks Asia. Jika di dalam teologi, banyak tokoh-tokoh teolog Asia
seperti C.S Song, Ariarajah, Kung dsb yang telah mencoba menggali kearifan
lokal dari kebudayaan Asia untuk bisa dijadikan bahan berteologi dalam konteks
Asia. Maka PAK pun harus meramu bahannya sendiri untuk bisa dikonsumsi di
masyarakat Asia.
Telah berabad-abad kita
mengadopsi pemikiran Barat dan diterapkan dalam masyarakat Asia tanpa melihat
konteksnya baik dalam teologi maupun PAK. Inilah tantangan dari PAK untuk
menjawab pergumulan masyarakat Asia sekarang. Dengan melihat konteks
kemajemukan serta konflik agama yang banyak terjadi di masyarakat Asia,
barangkali perlu dicari suatu model desain PAK yang lain agar bisa menjawab
konteks Asia.
Banyak pemikir PAK Asia yang
menawarkan pendidikan untuk kedamaian (eduacation for peace). Salah satu tokoh
di antaranya ialah Kim Yong Bock. Menurut Kim Yong Bock, Tujuan pendidikan Asia
adalah komunitas keadilan, perdamaian, kerja sama dan rekonsiliasi. Mengakui
sistem sekolah dan media massa tidak hanya korban tetapi juga promotor dari
proses globalisasi, kita harus mengadopsi lahan baru, pendidikan untuk keadilan, perdamaian dan
kehidupan (education for justice, peace and life) .
Tokoh lainnya yaitu Sugirtharajah[9]
mengatakan : “pendekatan dialogis adalah suatu pendekatan yang mengakui
keabsahan pengalaman keagamaan yang berbeda dan beragam dari semua orang dan
menyingkirkan semua klaim eksklusif terhadap kebenaran satu tradisi agama.
Dalam pendekatan ini, setiap agama patut dikasihi dan dihargai. Semua agama
mengandung unsur pembebasan dan juga unsur penindasan, sementara tugas
hermeneutika adalah mengumpulkan aspek-aspek yang membebaskan untuk menciptakan
harmoni dan perubahan sosial bagi semua orang”.
Barangkali inilah suatu tantangan
yang harus dihadapai. PAK bukan hanya mengajarkan tentang doktrin/dogma semata,
tetapi juga memiliki tujuan dalam pelaksanaannya dalam konteks Asia ini. Education
for peace perlu menjadi tujuan dalam pelaksanaan PAK di Asia yang majemuk,
karena dari kemajemukan tersebut sering
terjadi juga banyak konflik.
Harapan
Menurut KBBI, Harapan adalah :
(1) sesuatu yang (dapat) diharapkan; (2) keinginan supaya menjadi kenyataan; (3)
orang yang diharapkan atau dapat dipercaya. [10]
Dengan kata lain harapan adalah
kemampuan untuk menarik masa depan ke masa kini, sehingga dapat menembus
keputusasaan dan jalan buntu. Jika demikian apa yang menjadi harapan PAK dalam
masyarakat Asia? Paling tidak kita menaruh harapan bersama yaitu kehidupan yang
penuh dengan keadilan dan kedamaian. Sebagaimana Yesus yang membawa harapan
kepada mereka yang tersisih berupa kedamaian. Kedamaian kepada perempuan
Siro-Fenesia, kedamaian kepada perempuan Samaria, kedamaian kepada Zakheus yang
dimusuhi, kedamaian kepada perempuan yang didapati berzinah. Yesus memberi
teladan yang luar bias bagi mereka yang tersisih pada zaman Ia hidup, dan
dengan demikian mereka dapat mengenal Allah lewat perbuatan Yesus.
Semua yang dilakukan Yesus, bukan
berarti tidak mendapat tantangan. Justru, karena Ia melihat harapan yang
besar agar orang dapat mengenal Allah
maka segala tantangan mau dihadapinya. Ia ditantang untuk merangkul kaum
perempuaan pada waktu itu yang dianggap tidak sederajat dengan laki-laki. Ia
merangkul orang-orang non-Yahudi yang dianggap tidak mendapati karya
keselamatan Allah. Ia juga merangkul Zakheus yang dimusuhi oleh masyarakat
sekitar karena dianggap sebagai pemeras. Rangkulan Kristus membawa keadilan dan
membuat kita merasa damai.
PAK dalam konteks Asia pun
semestinya meneladani Kristus di dalam merangkul semua lapisan masyarakat. PAK
Asia semestinya tidak lagi alergi dengan agama lain atau budaya yang lain.
Justru tantangan itulah yang perlu dihadapi. Tantangan itu perlu dilihat sebagai
sarana untuk pendidikan cinta kasih yang membebaskan. PAK Asia hendaknya tidak
hanya menekankan pada doktrin atau dogma gereja saja, tetapi juga perlu untuk
melihat sampai kepada mereka yang membutuhkan. Tantangan yang dihadapi PAK
dalam masyarakat majemuk ini perlu melihat ke depan akan harapan yang ada.
Dengan demikian harapan tersebut bisa menjadi berkat bagi PAK itu sendiri.
Barangkali kita perlu melihat refleksi
dari Lesslie Newbegin[11]
yang melihat tantangan sebagai suatu berkat jika dihadapi.
Dalam buku ini Lesslie Newbigin
melihat bahwa kenyataan adanya sekian banyak agama, dogma dan budaya merupakan
tantangan dan sekaligus menjadi berkat bagi umat Kristen. Tantangan yang
dimaksudkannya pertama-tama terungkap dalam pertanyaan, mengapa ada begitu
banyak agama, dogma dan budaya? Mengapa ada begitu banyak orang yang bertemu
dengan Allah di luar Kristus dan kekristenan? Tantangan-tantangan tersebut
menjadi lebih dalam dan menyakitkan apabila pertanyaan-pertanyaan itu ditinjau
di bawah terang hakekat dan tuntutan-tuntutan pluralisme unitif.
Bagi Lesslie Newbigin, pluralisme
agama justru merupakan kairos bagi kekristenan. Dengan kairos ini kekristenan
ditawari kesempatan bagi terjadinya pertumbuhan tulen dan evolusi, serta untuk
memahami sekali lagi amanat Injil, dalam satu cara di mana kekuatan Injil dapat
lagi bersinar dalam cara yang segar dan dalam bentuk yang lebih dapat dipahami.
Menurut Lesslie Newbigin, kehilangan kesempatan ini sama artinya dengan
menempatkan sinar Injil di bawah gantang sehingga membuat kabar baik itu
menjadi lebih sulit dipercayai.
Lesslie Newbigin sangat
menekankan tentang Injil dan tradisi Kristen. Sepanjang sejarahnya, kekristenan
senantiasa tergantung pada konteks sejarah yang selalu berubah. Lesslie
Newbigin juga membuktikan kebenaran pendapatnya ini dengan menunjuk sejarah
gereja. Ketika jemaat pertama berpindah dari konteks kebudayaannya yang
pertama, yaitu dari Yudaisme ke dunia Romawi-Yunani, mereka mengalami
transformasi yang sangat jauh. Transformasi yang dimaksud bukan saja dalam
kehidupan liturgis dan sakramental gereja serta struktur organisasi dan
legislasinya, tetapi juga dalam doktrin yaitu dalam pemahamannya akan penyataan
yang telah melahirkannya.
Lesslie Newbigin yakin bahwa gereja
Kristen dalam menghadapi dunia pluralisme agama dan dialog antar agama,
memungkinkannya mengalami suatu kairos dengan satu janji terjadinya
transformasi diri, tidak berada di luar garis sejarah.
PENUTUP
Kesimpulan
Setiap zaman mempunyai
tantangannya tersendiri. Kita perlu belajar dari kisah hidup Yesus yang mampu menghadapi tantangan karena mampu
melihat harapan, dan lebih dari itu ialah berkat. Dengan melihat konteks Asia
yang serba majemuk dan juga jumlah komunitas Kristen yang kecil dibanding
agama-agama lain, PAK tidak harus menjadi pesimis. Justru dengan inilah PAK
ditantang untuk melihat harapan dan juga berkat yang ada di depan. Bersentuhan
dengan agama dan juga budaya lain tidak harus membuat PAK bersifat eksklusif
melainkan meliahatnya sebagai kairos seperti yang diungkapkan Lesslie Newbigin.
Saran
- Tantangan konteks Asia ini membuat PAK agar mampu membawa pendidikan untuk kedamaian (education for peace) bagi segala lapisan masyarakat, khusunya dalam konteks berbangsa dan bernegara di bumi pertiwi ini.
- Mengingat Asia banyak sekali budayanya, maka PAK Asia hendaknya melihat kearifan lokal masing-masing agar dapat mendesain bahan PAK yang menjadi ciri khas tesendiri dan bukan PAK produk Eropa atau Amerika.
DAFTAR PUSTAKA
Boehlke Robert,
2011, Sejarah Perkembangan Pikiran Dan
Praktek Pendidikan Agama Kristen Jilid I & II, Jakarta : BPK Gunung
Mulia
Christian Conference Of Asia, 2003, Religion Education In Asia, Hong Kong
Enklar &
Homrighausen, 2011, Pendidikan Agama
Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia
Groome Thomas,
2011, Christian Religious Education,
Jakarta : BPK Gunung Mulia
Hope Antone, 2010,
Pendidikan Kristiani Kontekstual, Jakarta : BPK Gunung Mulia
Newbigin Lesslie, 2002, Injil Dalam Masyarakat
Majemuk, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Lihat pembahasan khusus mengenai Tantangan & Berkat.
[8] http://kamusbahasaindonesia.org/tantangan diakses pada 8 Januari 2015.
[6] http://eiren3s.blogspot.com/2013/10/pendidikan-agama-kristen-sebagai-tugas.html diakses pada tgl 3 Januari 2015.
👏👏👏👏👏🙏🙏🙏🙏
BalasHapus