Memaknai Persekutuan
Persekutuan adalah sebuah kata
yang tidak asing lagi di dalam kekristenan. Persekutuan sering dipakai di dalam
berbagai kegiatan gerejawi. Misalnya, persekutuan kaum Bapak/Ibu, persekutuan
Pemuda/Remaja, dsbnya. Jika dilihat penggunaan kata ‘Persekutuan’ ini memang
unik. Unik karena di dalam kelompok yang disebut persekutuan itu ada banyak
latar belakang yang berbeda dari anggota kelompoknya.
Persekutuan yang dibuat oleh
Tuhan Yesus semasa pelayanan-Nya di dunia, terdiri dari berbagai latar belakang
keanggotaannya. Ada Simon Petrus dan saudara-saudaranya yang adalah nelayan.
Ada Simon orang Zelot yang memiliki jiwa patriotisme nasionalis yang tinggi.
Namun, ada juga Lewi si pemungut cukai (Matius) yang bekerja bagi pemerintah Romawi.
Jika melihat gambaran singkat murid-murid Yesus di atas, sangat memungkinkan
terjadinya perselisihan di antara mereka.
Simon orang Zelot dan Lewi
pemungut cukai (Matius) misalnya. Simon yang memiliki jiwa nasionalis yang
tinggi terhadap bangsa Yahudi harus bertemu, dan bahkan melayani bersama dengan
Lewi yang bekerja bagi pemerintah Romawi dengan mengambil pajak dari orang
Yahudi. Tentunya ini bisa menjadi sebuah protes dari seorang Simon kepada Yesus
Guru-Nya. Tidakkah Tuhan Yesus melihat ini sebagai seorang yang membentuk
bahkan memiliki persekutuan itu? Justru Yesus di dalam pemilihan
murid-murid-Nya telah melihat hal tersebut. Murid-murid yang dipilih bukan
untuk membentuk “persatuan”, melainkan “persekutuan”.
Kata Persekutuan di dalam PB
berasal dari kata Yunani Koinonia yang
bisa diartikan “menyatukan”, “hubungan antar teman”. Namun dalam
perkembangannya bisa diartikan sebagai Persekutuan Jemaat Kristus yang berbagi
suatu hal bersama, “mengambil bagian” atau “menyumbangkan sesuatu”. Nampaknya hal
ini yang ditunjukan oleh Jemaat mula-mula, dimana kehidupan berbagi rasa
ditunjukan di dalam komunitas yang mengakui sebagai Pengkut Kristus (Kristen).
Persekutuan memang berbeda dengan
persatuan. Persekutuan dibentuk dari berbagai latar belakang keanggotannya, dan
inilah yang dipakai oleh Tuhan Yesus. Sedangkan persatuan merujuk kepada
sekolompok orang yang memiliki latar belakang sosial, etnik, bahkan hobi
dsbnya. Misalnya persatuan orang Rote, Persatuan Sepak Bola Kupang (PSK),
persatuan anak Oebobo, dsbnya. Kelompok ini, merancang visi/misinya bersama
sesuai dengan kesepakatan bersama. Apakah Persekutuan juga demikian? Tidak!
Persekutuan dibentuk oleh seseorang yang memiliki hak untuk itu, dan itu juga
segala visi/misi ditentukan olehnya.
Tuhan Yesus dalam hal ini adalah
orang yang membentuk Persekutuan murid-murid itu, sebagaimana Allah (Yahweh)
membentuk Persekutuan umat Israel yang disebut Qahal Yahweh. Itu berarti wewenang penuh berada di tangan Kristus
sebagai Pemimpin Persekutuan. Anggotanya tidak memiliki hak atau wewenang di
dalam menentukan arah Persekutuan tersebut.
Saya teringat cerita di dalam
Injil Markus 8:31-33, dimana Petrus menarik Yesus ketika Yesus menyatakan bahwa
Dia akan menderita aniaya, tetapi Dia menghardik Petrus dengan mengatakan:
“Enyahlah Iblis!”. Seluruh visi/misi ditentukan oleh Pemilik Persekutuan itu.
Sebagaimana pertanyaan retorik Yesus kepada murid-murid: “Bukankah Aku sendiri
yang telah memilih kamu yang dua belas ini?,....”
Sudah tentu bahwa di dalam
Persekutuan kita sekarang pun terdapat keegoisan di dalam anggota-anggotanya.
Ada yang mau menonjolkan diri dalam Pesekutuan , ada yang acuh tak acuh, ada
yang mau bergabung dalam persekutuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi,
dsbnya. Ada begitu banyak motivasi di dalam seorang mengikuti Kristus sang
Pemilik Persekutuan itu. Ini juga sudah terjadi pada zaman Yesus, ketika
murid-murid mau melihat siapa yang terbesar di antara mereka. Setelah kematian
Kristus pun masih dijumpai hal demikian. Para pengikut Kristus mau menunjukan
siapa yang lebih baik. Ada yang mengatakan dari golongan Kristus, Apolos, atau
Kefas.
Ada baiknya Persekutuan tubuh
Kristus sekarang, perlu memberi makna pada Persekutuan di mana ia bergabung. Sebuah kisah nyata
tentang makna Persekutan boleh kita lihat di bawah ini, yang akhirnya menjadi
sebuah nyanyian yang terus dikumandangkan oleh Persekutuan tubuh Kristus di
berbagai tempat dan waktu.
John Fawcett, pengarang syairnya,
lahir di Yorkshire, Inggris pada tahun 1740. Orangtuanya sangat sederhana,
bahkan termasuk miskin. Pada umur enam belas tahun ia mengaku menjadi pengikut
Kristus dengan bimbingan George Whitefield.
Pada umur dua puluh enam tahun ia
diteguhkan menjadi pendeta gereja Baptis dan menerima panggilan melayani di
jemaat Wainsgate di Inggris Utara. Beberapa tahun ia melayani di sana dengan
gaji yang sangat rendah, pas-pasan untuk menghidupi keluarganya yang kian
bertambah. Ia kemudian mendapat panggilan untuk pindah ke gereja Baptis di kota
London.
Pada hari akan pindah, anggota-anggota
jemaat sudah berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan dan tinggal satu peti
yang belum diangkat ke atas kereta. Tiba-tiba nyonya Fawcett menangis lalu
berkata kepada suaminya : “John, saya tidak kuat untuk meninggalkan jemaat ini!”
Pendeta John Fawcett juga menjadi sedih sambil mengatakan: “Saya juga tidak
kuat!” Segala barang-barang diturunkan dan mereka kembali masuk ke rumah.
Dalam satu khotbahnya John
Fawcett memperkenalkan syair ini kepada jemaatnya, kemudian diterbitkan dalam
kumpulan syairnya sebanyak 166 buah. Fawcett melayani di jemaat yang terdiri
dari orang-orang sederhana itu selama lima puluh tahun lebih. Ia terkenal
sebagai pendeta yang pandai berkhotbah. Pada tahun 1777 ia membuka sekolah
pendeta. Pada tahun 1793 ia diminta menjadi pimpinan sekolah pendeta di
Bristol, Inggris, tetapi permintaan itu ditepisnya. Ia menulis cukup banyak
buku mengenai berbagai segi kehidupan kristiani yang sangat digemari pembaca.
Sebagai penghargaan atas
pengabdiannya dan buah-buah pikirannya, pada tahun 1811 Brown University di
Amerika Serikat menganugerahkan Doktor Kehormatan kepadanya. Namun demikian ia
tetap melayani di tengah jemaat sederhana itu sampai ia meninggal tahun 1817
karena serangan otak. Sungguh, kehidupan dan pelayanan John Fawcett ini adalah suatu
contoh pengabdian kerohanian yang menepiskan ambisi dan kemapanan hidup.
Pengarang lagunya, Hans Georg
Nageli, lahir tahun 1773 di Zurich, Swiss. Ia seorang penerbit musik dan
menjadi ketua lembaga untuk pengembangan musik di Swiss. Ia diakui sebagai
seorang perintis pendidikan musik.
Nyanyian ini judul aslinya Blest Be the Tie That Binds, yang
kemudian diterjemahkan oleh Yamuger menjadi “Alangkah Indahnya” (KJ 448). Kisah dari lagu
ini begitu indah, dimana ada begitu banyak orang mencari “keuntungan” dari
persekutuan, Fawcett malah mengorbankan “keuntungan pribadinya” semata bagi
banyak orang (jemaat).
Fawcett menaruh kesetiaan pada
persekutuannya, kita pun diajak untuk setia di dalam persekutuan dimana Tuhan
menaruh kita. Sebagaimana Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan
Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita adalah setia (1 Korintus 1:9)
Semoga kita pun dapat melihat
teladan yang baik ini di dalam Persukutuan dimana kita terlibat di dalamnya.
Selamat Bersekutu di dalam Tuhan!
Ibrani
10:24-25
‘24Dan marilah kita saling
memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan pekerjaan baik.
25Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti
dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita menasihati,dan semakin
giat, melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.
Komentar
Posting Komentar