JAKARTA KOTA BELAJAR
Jogja kota pelajar, slogan ini hampir sudah
diketahui oleh sebagian besar orang Indonesia. Selain kota pelajar Jogja
juga disebut kota seniman. Kalau
ditanya, Jakarta kota apa? Maka mungkin kita dengan bervariasi memberikan
jawaban. Ada yang mungkin bilang ‘Jakarta itu kota banjir’ (gara-gara si komo
lewat kali), atau mungkin ada yang
bilang ‘Jakarta itu kota macet’. Gimana nggak macet, kendaraan bermotor banyak
banget. Jangankan kemacetan kendaraan, jalan kaki saja bisa macet. Ini saya
sendiri alami ketika pergi ke gereja, namun sebelum sampai tempat tujuan
jalanan macet. Saya pun bergegas turun untuk berjalan kaki dengan cepat.
Hasilnya memang saya tiba di gereja persis ibadah akan dimulai, namun dengan
keringat yang cukup banyak terkuras. Apalagi
yang macet di Jakarta selain kendaraan?
Bernapas! Lho, kok bernapas? Bernapas
memang aktivitas yang sering dilakukan manusia, namun di Jakarta banyak polusi
udara karena banyak kendaraan bermotor dan sebagainya. Hal ini membuat orang
yang bernapas di Jakarta juga mengalami ‘kemacetan’ (hehehe)
Add caption |
Lalu apa slogan yang tepat buat kota
Jakarta? Masa sih hanya slogan-slogan
yang negatif seperti rincian di atas? Kalau Jogja kota pelajar, maka Jakarta
itu kota belajar! Ya, Jakarta adalah kota belajar! Pernyataan tersebut
merupakan pengamatan pribadi selama tinggal
di Jakarta. Selama kurang dari dua tahun saya melihat Jakarta merupakan
sebuah ‘kota yang sibuk’. Sibuk dengan berbagai aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat Jakarta maupun luar Jakarta. Sebuah penelitian mengatakan bahwa
hampir lebih dari setengah bagian orang yang beraktivitas (bekerja/studi) di
Jakarta dari pagi sampai malam bukan masyarakat Jakarta. Lebih tepatnya orang
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek).
Kota besar seperti Jakarta merupakan
impian banyak orang untuk mencari rejeki, entah secara halal atau haram. Maka
tidak heran jika di kota ini banyak terjadi bermacam tindak kejahatan. Pastinya,
kehidupan keras di Jakarta membuat orang belajar. Mungkin benarlah ungkapan
‘Ibu Kota lebih kejam dari ibu tiri’
Add caption |
Belajar tentang kehidupan memang tak
pernah habis-habisnya. Di kota ini saya melihat seorang pengemis beraksi di
atas jembatan penyebrangan dengan muka sedih, padahal saya menemuinya di jalan
depan dengan wajah yang segar. Ada juga seorang pengamen yang menyanyikan lagu
rohani ‘Smua Baik’ di atas angkot, dan
setelah dikasih duit langsung kabur
tanpa pamit. Ini contoh orang belajar menyambung hidup di Kota Jakarta yang
keras. Ada juga saya temui anak SD yang bangun pagi dan bersiap diri berangkat
jam 5 pagi untuk pergi ke sekolah. Bahkan banyak teman gereja saya bekerja dari
pagi hingga malam, dan juga melanjutkan kegiatan di gereja setelah pulang
kantor. Inilah gambaran orang-orang yang belajar memperjuangkan hidup di
Jakarta.
Mobilitas tingkat tinggi yang terjadi di
Jakarta menuntut orang untuk bekerja keras dan belajar kreatif dalam segala
bidang yang digelutinya. Ya, Jogja memang kota pelajar, namun pelajar belum
tentu belajar. Jika ingin belajar tentang kehidupan, datanglah ke Jakarta. Ada
banyak hal yang bisa kita pelajari dari kota ini.
Saya kembali mengenang ketika pertama
datang ke Ibu Kota untuk melanjutkan studi. Saya merasa ragu untuk bepergian
sendiri. Alasanya, tidak tahu cara naik kendaraan (Trans Jakarta dan Kereta Api) , dan juga takut dicopet. Namun dari
berbagai sikap skeptis itulah saya belajar melakukannya. Bahkan dapat melakukan
dengan baik. Misalnya saja saya tahu bagaiman trik mendapat tempat duduk di kendaraan umum di saat semua berdiri
berdesakan. (hehehe).
Ternyata banyak hal yang saya pelajari
dari kota ini. Akan sangat rugi jika seseorang perantau seperti saya yang ingin
melanjutkan studi hanya mau belajar secara akademis. Belajar tentang kehidupan
di kota ini sangatlah berharga. Untuk itulah saya menikmati kota ini dengan
segala tantangannya. Saya juga belajar banyak hal dari GKI Cawang (Gereja Kristen Indonesia) dimana saya berjemaat. Saya belajar tentang persekutuan, belajar dari pribadi dari orangtua-orangtua yang bersemangat, dan juga belajar dari orang-orang muda, bahkan belajar musik dari orang yang bertalenta.
Tentu semua ini merupakan kesempatan
dari Tuhan (kairos) bagi saya.
Jakarta
adalah Ibu Kota negara dan banyak orang mengadu nasib di situ. Tak peduli
berapa lama seseorang tinggal di Jakarta, jika ia mau belajar tentang kehidupan
maka ia pasti menemukan arti dari kehidupan itu. Saya sendiri mencoba memberi
makna hidup setelah belajar dari kota Jakarta. Jika saya menjadikan “Jakarta
Kota Belajar”, maka penduduk Jakarta hendaknya juga demikian.
Hal terakhir yang saya pelajari adalah belajar untuk
berpisah. Perpisahan itu mengajarkan banyak hal. Perpisahan mengajarkan tentang
arti persahabatan, tentang menghargai waktu yang dilalui bersama. Perpisahan
mengajarkan tentang arti hadir seseorang. Sering kita dengan kalimat demikian:
“Bukan perpisahan yg kutangisi tapi
pertemuan yg kusesali'. Saya tidak menangisi perpisahan ataupun menyesali
pertemuan. Bagi saya pertemuan dan perpisahan adalah waktu untuk belajar, dan
itu adalah anugerah Tuhan. Belajarlah tentang kehidupan selagi masih diberi
kesempatan untuk memaknai hidup. Kiranya Tuhan pemberi hidup itu memberkati
kita.
(Foto-foto pelayanan di GKI Cawang)
Pelayanan Paska 2015 di GKI Cawang
Pelayanan Paska 2015 di GKI Cawang
Pelayanan Natal 2014 di GKI Cawang
Pembinaan Penatua, Komisi, Badan Pelayanan GKI Cawang di Puncak Bogor
Pelayanan PS Gracia di GKI Surya Utama
Palayana Bulan Keluarga di GKI Cawang 2014
Komentar
Posting Komentar