Chrismast Carol
Pengantar
Natal
merupakan saat yang ditunggu bagi setiap orang yang merayakannya, tak
terkecuali dengan saya. Tahun ini menjadi natal yang berbeda ketika saya berada
di perantauan untuk melanjutkan studi. Tempat studi saya tepatnya di Universitas
Kristen Indonesia Jakarta di daerah Cawang Jakarta Timur. Di kesempatan studi
ini saya berjemaat sementara di GKI Cawang yang merupakan gereja terdekat
dengan tempat tinggal saya.
Memasuki
Desember saya memutuskan untuk tidak mudik
karena ingin merayakan Natal di Jakarta. Saya pun bergabung dengan jemaat
GKI Cawang untuk terlibat dalam berbagai kegiatan Natal. Salah satu kegiatan
yang baru saya ikuti adalah Chrismast
Carol. Kegiatan ini tentunya asing bagi saja. Jangankan mengikutinya,
mendengar namanya saja baru pernah. Kalau dilihat dari namanya kegiatan ini
merupakan kegiatan perkunjungan ke rumah-rumah dan menyanyikan lagu-lagu Natal
bagi yang dikunjungi. Ah, tapi pasti berbeda dengan dugaan saya. Dengan rasa
penasaran akhirnya saya hadir di gereja pada hari yang ditetapkan, yakni Sabtu,
13 Desember 2014.
Di
gereja kami dibagi dalam tujuh kelompok untuk melakukan perkunjungan Chrismast Carol, dan saya berada di kelompok
tujuh bersama pak Pdt. Izack Sipazulta dengan istrinya, dua orang guru sekolah
minggu dan seorang ibu. Kami berenam dalam satu mobil yang dibawa oleh pak pendeta
sendiri. Kami memiliki tugas
masing-masing, dan saya bertugas khusus sebagai gitaris.
Saya
akhirnya mendapat gambaran tentang kegiatan Chrismast
Carol. Kegiatan ini adalah kegiatan perkunjungan yang dilakukan pada saat
menjelang Natal dari pihak gereja kepada jemaat yang sudah jarang hadir dalam
ibadah Minggu. Jemaat yang banyak dikunjungi adalah para lansia. Dalam
perkunjungan itu dilakukan ibadah singkat dengan menyanyikan lagu-lagu Natal,
pembacaan Firman, dan juga berdoa untuk yang dikunjungi. Paling tidak gambaran
yang saya ketahui dari kegiatan ini demikian.
Refleksi
Ada
empat rumah yang akan kami kunjungi, dan keempat rumah tersebut berada dua di
Jakarta dan dua di Bekasi. Kami pun berangkat dari gereja sekitar pukul 9:30
pagi. Keempat rumah tersebut memiliki cerita yang memberi kesan masing-masing,
walaupun ada juga kesamaannya. Untuk itu saya akan menceritakan pengalaman saya
ini di setiap rumah.
Rumah pertama: ketika tiba di
rumah pertama, kami langsung disambut oleh keluarga. Ternyata bukan cuma satu
keluarga tetapi ada tiga kelurga yang rumahnya berdekatan dan juga bersaudara.
Suasana pun menjadi ramai. Di tengah sukacita itu, kami diperkenalkan dengan seorang
oma yang sudah berumur 89 tahun. Kondisi fisik dari oma tersebut juga semakin
buruk. Matanya sudah kabur, mulutnya tidak bisa berbicara dan tidak bisa bangun
dari kursi. Menurut keluarga, oma masih dapat mendengar dengan baik. Fokus kami
maupun keluarga mulai bercerita tentang keadaan oma. Akhirnya pak pendeta
mengajak kami semua untuk memulai ibadah, dan beliau duduk persis disamping oma
untuk mengajak oma secara khusus beribadah. Oma mengiya-kan dengan menganggukan kepalanya secara perlahan. Setelah
selesai ibadah kami dijamu dengan beraneka makanan yang disiapkan oleh
keluarga. Sambil makan dan minum kami terus melanjutkan cerita seputar oma. Oma
hanya dapat mendengar obralan kami dan ketika ditanya apakah ia senang dengan
kehadiran kami, ia hanya bisa mengangguk.
Menurut
keluarga oma, baru setahun keadaannya memburuk. Oma juga jarang berkumpul
dengan anak-anaknya karena kesibukan pekerjaan masing-masing. Ditengah kondisi
seperti itu oma ‘dititip’ bersama pembantu. Rupanya ini yang sering membuat oma
sedih, kata seorang anak perempuannya. Oma yang dulunya jarang berbicara dengan
pembantu sekarang ‘terpaksa’ ditinggali bersama pembantu. Keadaan ini juga yang
membuat anak-anaknya sedih.
Kesan:
dari rumah pertama ini saya mendapat satu kesan bahwa betapa sedihnya jika kita
hanya bisa mendengar orang bercerita tentang kita tetapi kita tidak dapat
menanggapinya karena keadaan fisik yang
semakin memburuk. Saya pun membayangkan jika saya tua nanti apakah saya seperti
oma itu atau lebih baik, atau mungkin lebih parah lagi kondisi fisiknya. Jelas
kita tidak tahu ! kita hanya bisa memprediksikannya, Tuhanlah yang
menentukannya.
Rumah kedua: Tak
jauh dari rumah pertama, hanya sekitar 100 meter kami pergi ke rumah yang
kedua. Di situ hiduplah kedua orang oma
yang berusia 80an dan 90an tahun. Kedua oma itu memiliki semangat bergereja
namun karena fisik yang lemah dan tidak ada yang mengantar ke gereja jadi tidak
setiap Minggu bisa pergi ke gereja. Namun mereka sebisa mungkin dalam setahun
mengikuti perjamuan kudus yang telah ditetapkan gereja. Bukti dari kedua oma
tersebut rajin bergerja adalah mereka hafal sekali nyanyian jemaat yang ada
dalam KJ dan NKB bahkan bukan hanya satu bait yang dihafal tapi bait-bait
selanjutnya dari lagu yang dinyanyikan masih diingat dengan jelas. Suara mereka
masih terdengar jelas dan merdu. Saya sangat senang mendengar kedua oma
tersebut bernyanyi lagu-lagu gerejawi.
Kesan: Selagi masih
diberi kekuatan dari Tuhan, bernyanyilah dengan sepenuh hati dan biarlah
nyanyian itu menjadi kekuatan bagi tubuh yang lemah bahkan hati dan jiwa yang
remuk redam oleh berbagai persoalan hidup. Seakan-akan suara dari kedua oma
tersebut memberi pesan bahwa anak muda haruslah terus bernyanyi dan yang lebih
penting bagaimana menghidupi nyanyian itu.
Rumah Ketiga: Setelah
rumah kedua, kami bertolak ke daerah Bekasi untuk tujuan selanjutnya yang
tersisa 2 rumah. Sesampainya di rumah, kami disambut oleh oma dan anak
perempuannya yang telah menunggu. Oma terlihat sangat senang dengan kehadiran
kami. Beberapa kali dia menawarkan kembali makanan dan minuman yang sudah
kami santap. Oma ini sangat senang
bercerita dengan suara yang besar, kemungkinan pendengarannya agak terganggu
sehingga harus berbicara dengan suara yang lebih besar. Beliau bertanya nama
saya dan asal dari mana. Saya mengatakan bahwa saya dari Kupang NTT, dan dia
bilang bahwa di Kupang itu terkenal dengan madu Timornya. Saya mengiyakan dan
beliau juga meminta kalau bisa dikirim madu Timornya untuk dia konsumsi.
Dalam keadaan
terbatasnya dia mengenang kehidupan masa lalunya dengan berkisah bahwa ia
dulunya jarang pergi ke gereja ketika masih dalam kondisi yang sehat, sekarang
dia menyesal karena hanya bisa duduk di kursi roda. Sambil menurunkan nada
suara dia bersedih dan kami mendoakan dia dalam keharuan.
Kesan: Penyesalan
selalu datang kapan saja dan dimana saja ketika kita tidak memanfaatkan masa
hidup kita dengan baik bagi diri sendiri, sesama dan untuk kemuliaan nama
Tuhan. Suatu saat kita akan terbatas dalam ruang gerak kita dan karena kondisi
fisik yang semakin menua. Seakan-akan oma tersebut mau mengatakan dalam
keharuannya bahwa yang kita lakukan untuk Tuhan dan sesama itu adalah hal yang
baik. Kesan yang tidak saya lupakan adalah ketika oma mengatakan kepada saya
“Terima kasih yah, Tuhan memberkati Rudy”. Damai sekali hati ini menerima
ucapan dari seorang yang tulus.
Rumah Keempat : Sesampainya
di rumah terakhir, oma ini menceritakan pengalaman hidupnya ketika tinggal
puluhan tahun di Belanda mengikuti suaminya yang adalah orang Belanda. Dia menceritakan
pengalaman di sana, bahkan yang sempat teringat oleh saya ketika dia
menceritakan pengalaman rumahnya dimasuki maling dengan berbagai modus. Setelah
kematian suaminya dia kembali tinggal di Indonesia dan tak mau lagi kembali ke
Belanda. Dia merasa sudah betah di Indonesia. Dari cara berbicara oma ini
terlihat bahwa dia seorang yang tenang. Bahasanya teratur jelas dan berbicara
dengan lembut. Oma masih terlihat anggun dan berwibawa ketika berbicara.
Setelah berbicara mengenai pengalaman masa hidupnya kami mengakhirinya dengan
sama-sama menyanyikan KJ 100 “Muliakanlah” dengan bahasa Belanda berjudul “Ere zij God” dengan penuh sukacita.
Tentunya kami menggunakan bahasa Indonesia dan hanya oma saja yang memakai
bahasa Belanda hehehe.
Kesan saya: menjadi tua
itu pasti tapi menjadi bijak itu pilihan. Oma dengan gaya bicaranya yang lembut
menunjukan kearifannya dalam menjalani hidup. Terlebih dalam memutuskan untuk
melanjutkan hidup di Indonesia adalah sebuah pilihan dalam melanjutkan hidup.
Oma memberi kesan bagaimana harus menentukan pilihan hidup dan bertanggung
jawab dengan pilihan kita.
Sekian
pengalaman baru yang saya dapat dari hidup para oma-oma. Ada banyak hal di
sekitar kita yang bisa kita jadikan sebagai inspirasi hidup. Chirsistmas carol memberi kesan
tersendiri bagi saya selama berada beberapa waktu dalam komunitas GKI Cawang.
Semoga Chirstmas carol tahun ini
banyak hal juga yang bisa diambil darinya. Tuhan Yesus memberkati kita semua !
Komentar
Posting Komentar