Gereja Bagai Bahtera
Gereja dan bahtera mirip
dalam beberapa hal. Oleh sebab itu, sejak abad ke-3 gereja diibaratkan sebagai
bahtera. Nyanyian “Gereja Bagai Bahtera” di PKJ
105 atau NKB 111 memperlihatkan
beberapa kemiripan itu.
Gereja bagai bahtera di laut
yang seram.
Mengarahkan haluannya ke
pantai seberang.
Mengamuklah samuderandan
badai menderu;
gelombang zaman menghempas,
yang sulit ditempuh.
Penumpang pun bertanyalah
selagi berjerih:
Betapa jauh di manakah
labuan abadi?
Sebagaimana bahtera selalu “mengarahkan
haluannya ke pantai seberang” yang menjadi titik tujuan, demikian juga gereja
perlu merumuskan apa visi dan misi yang menjadi arahnya. Bait pertama nyanyian
ini pun langsung memperlihatkan risiko yang perlu diperhitungkan, yaitu badai,
laut yang menyeramkan, samudera yang mengamuk, dan gelombang yang menghempas,
sehingga tujuan terasa jauh.
Bait kedua mensinyalir
reaksi-reaksi cari aman dari risiko itu. Yang paling aman adalah jika bahtera
itu tetap tinggal di pelabuhan. Gereja juga cenderung cari aman dan tetap
tinggal di dunia rohani. Akibatnya, gereja tidak mau tahu soal iptek, ekologi,
keadilan, atau hak asasi manusia. Gereja hanya memikirkan urusan rohani saja.
Menurut bait kedua, gereja “pun suka berhenti, tak mau menempuh samudera, tak
ingin berjerih ... tak ingat akan dunia yang hampir tenggelam ... tak bertekun
di dalam tugasnya ....”
Bait ketiga memperlihatkan
organisasi yang merupakan prasyarat kinerja bahtera, yaitu “diatur awaknya,
setiap orang bekerja menurut tugasnya, semua satu padu ....”
Bait tersebut menggambarkan
idealisme, sedangkan bait keempat memperlihatkan realisme. Perhatikan sarkasme,
yaitu “suka mengeluh ... hanya ikut maunya, meng’ritik dan sok tahu” dalam bait
ini:
Gereja
bagai bahtera muatannya penuh,
beraneka
manusia yang suka mengeluh,
yang
hanya ikut maunya, meng’ritik dan sok tahu
sehingga
bandar tujuan semakin jauh.
Tetapi
bila umat-Nya sedia mendengar,
tentulah
Tuhan memberi petunjuk yang benar.
Bait terakhir mengakui bahwa
kita semua yang berada dalam bahtera merasa “takut dan resah”. Tidak usah kita
berpura-pura bahwa iman kita dahsyat dan kuat. Bait ini juga mengajak kita
untuk saling menopang dalam komunitas bahtera dan saling mengingatkan bahwa
tujuan kita sama:
Gereja bagai bahtera di laut
yang seram,
mengarahkan haluannya ke
pantai seberang.
Hai kau yang takut dan
resah, kau tak sendirian;
teman sejalan banyaklah dan
Tuhan di depan!
Bersama-sama majulah,
bertahan berteguh;
Tujuan akhir adalah labuan
Tuhanmu !
Refrein nyanyian ini pun
indah baik lagu maupun syairnya:
Tuhan, tolonglah!
Tuhan, tolonglah!
Tanpa Dikau
semua binasa kelak.
Ya Tuhan, tolonglah !
Lirik terjemahan Yamuger itu
langsung mengingatkan kita pada cerita tentang angin ribut di danau Galilea, di
mana para rasul yang panik berseru, “Tuhan, tolonglah, kita binasa” (Mat.
8:25).
Tetapi teks asli nyanyian
ini yang dikarang untuk Dewan Gereja-gereja se-Dunia oleh Martin Schneider
menekankan permohonan agar Tuhan tinggal dan berada bersama-sama kita.
Bunyinya:
Bleibe bei uns, Herr!
Bleibe bei uns, Herr!
Den sonst sind wir allein
auf der fahrt durch das
Meer.
O, bleibe bei uns, Herr!
Arti harafiahnya:
Tinggalah bersama kami,
Tuhan!
Tinggalah bersama kami,
Tuhan!
Agar kami tak sendirian
dalam pelayaran melalui laut
ini.
Ya, Tuhan, tinggallah!
(Dikutip dari buku Andar Ismail “Selamat Bergereja” hlm 77-80)
Komentar
Posting Komentar