In Memoriam Opa Zeth
“Orang-orang yang sangat menginginkan dikenang sesudah mati lupa bahwa mereka yang akan mengenangnya pun akan mati juga. Dan, begitu juga orang-orang sesudahnya lagi. Sampai kenangan tentang kita, tentang satu orang ke yang lain bagaikan nyala lilin, akhirnya meredup dan padam” – Marcus Aurelius (Meditations)
Manusia sebenarnya selalu hidup dalam kenangan. Entah
kenangan baik atau buruk. kenangan bisa datang melalui berbagai cara. Bisa
dengan mencium aroma tertentu kita teringat akan seseorang, atau ketika melihat
sesuatu benda lalu membawa kita kepada peristiwa beberapa tahun yang lampau.
Bisa juga melalui jalanan atau sudut kota yang kita lalui dan semua kenangan
itu kembali hadir. Peristiwa mengenang paling umum biasanya kita lakukan
terhadap orang-orang yang sudah meninggal mendahului kita. Sosok yang meninggal
itu mendapat tempat dalam hati kita sehingga pada momen tertentu kita bisa
mengenangnya dalam tawa atau pun tangis.
Orang baik perlu dikenang, walaupun raganya tak lagi
bersama kita, namun berbagai peninggalan akan nilai kehidupan terus membekas
dan masih kita hayati serta hidupi. Saya mencoba mengenang satu sosok
inspiratif yang telah pergi setahun yang lalu. Sosok tersebut adalah Drs. Zeth
Snae atau yang biasa kami sapa opa Zeth. Semasa hidupnya opa Zeth telah
mengukir banyak sejarah baik dan itu telah menjadi legacy bukan saja
kepada keluarganya tapi juga bagi banyak orang, secara khusus bagi saya pribadi.
Serpihan-serpihan kenangan itu saya pungut dari ruang kuliah saat saya masih
berstatus sebagai mahasiswa yang beliau ajar, sebagai dosen yang harus
diarahkan karena beliau adalah pimpinan dan sebagai sesama rekan dosen. Setiap orang
pasti punya pengalam tersendiri dengan opa Zeth, namun saya akan membagikan
kisah yang saya tahu atau lewati bersama opa Zeth.
Di tahun 2009 ketika saya masuk sebagai mahasiswa
STAK, kami sering mendengar cerita tentang satu sosok yang begitu
berpengaruhnya. Sosok tersebut adalah salah satu pioner bahkan “otak” dari
cikal bakal berdirinya satu Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri di kota Kupang.
Perguruan Tinggi tersebut yang kita sekarang kenal dengan nama Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang.
Sosok tersebut adalah Drs. Zeth Snae. Lambat laun saya mengenal beliau dengan
beberapa tanggungjawab, antara lain sebagai ketua tim pendiri STAK, sebagai
Wakil Ketua I dan sebagai dosen yang mengajar kami “Bahasa Indonesia”.
Opa Zeth adalah sosok yang sangat bersahaja. Gaya
bicaranya lembut disertai dengan tempo yang pelan membuat kami mahasiswa dapat
menangkap inti pesan dari pembicaraannya. Dari gaya komunikasinya tampak
kewibawaan dan kharisma yang kuat sebagai seorang pemimpin dan pendidik. Itulah
kesan yang saya dapat sebagai mahasiswa di dalam kelas. Di samping tentunya
bagaimana opa Zeth mengajarkan cara menulis dan memahami pokok pikiran sebuah
paragraf dengan baik. Kesan tentang opa Zeth semakin bertambah ketika saya
kembali ke IAKN Kupang untuk mengabdi sebagai dosen.
Pada suatu kesempatan apel pagi, opa Zeth yang memberi pengarahan di apel tersebut dan menceritakan tentang perjuangan Jenderal Sudirman yang sakit parah, namun tetap berjuang melawan penjajah dengan gigih. Cerita itu tentu terngiang bagi saya dan memberikan inspirasi tersendiri. Tampaknya ada kesan berbeda pada apel pagi waktu itu dengan biasanya. Suatu cerita inspiratif yang opa berikan dan dapat memberikan semangat atau menghidupi spirit dari Jenderal Sudirman. Beliau adalah story teller yang hebat. Hanya menceritakan satu kisah dan orang lain tergerak olehnya.
Pada kesempatan yang lain saya teringat ketika ada
kegiatan dosen di hotel Ima Kupang. Ada satu sesi yang dimoderatori oleh opa
Zeth membahas tentang kurikulum. Lebih khususnya mata kuliah apa yang akan
dimasukkan sebagai mata kuliah umum di setiap fakultas dan prodi. Banyak dari
dosen senior tidak menyetujui kalau mata kuliah Filsafat Ilmu tidak dimasukkan
sebagai mata kuliah umum. Ketika hampir disetujui oleh forum, saya kemudian
memberanikan diri untuk memberi pandangan bahwa mata kuliah tersebut sangat
penting dan harus dilanjutkan. Filsafat
Ilmu itu sangat penting karena merupakan sumber dari berbagai ilmu dan dapat
membantu mahasiswa berpikir kritis, sistematis dan logis. Saya melanjutkan,
dengan memberikan contoh di berbagai Perguruan Tinggi yang bahkan sudah
mengajarkan berbagai mata kuliah yang menjadi cabang dari Filsafat Ilmu. Usul
saya itu kemudian dipertimbangkan dan diterima dengan baik oleh opa Zeth. Hal
yang sungguh berkesan bagi saya. Opa Zeth tidak melihat saya sebagai dosen
baru, atau mantan mahasiswanya tapi melihat esensi dari apa yang saya
sampaikan.
Waktu berlalu dan opa Zeth sadar bahwa setiap orang
ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Beliau tak lagi menjadi pimpinan
kampus namun tetap mengajar sebagai dosen biasa. Pihak kampus memberi ruangan
khusus bagi opa Zeth, walaupun satu ruangan dengan kami. Ruangan opa Zeth yang
disekat itu kadang sudah jarang ditempati karena kesehatan opa yang mulai menurun.
Namun ketika opa datang, kami para dosen muda sering diberikan makanan dan
minuman oleh opa dari dalam ruangannya. Opa juga sering bercerita tentang
pengalaman hidupnya. Mulai dari yang berkesan sampai hal-hal konyol dalam
pekerjaan ketika masih muda. Pengalamannya diceritakan dengan natural dan
jujur. Baik dan buruk dalam sistem kerja diceritakan kepada kami. Di bagian
akhir cerita, sambil tersenyum opa menyimpulkan “Yah zaman sekarang su beda, jadi
bosong kerja bae-bae ko urus ini kampus”. Cerita-cerita tersebut membekas
dan menjadi pelajaran hidup yang penting bagi kami yang baru merintis karir.
Opa Zeth terus menjadi inspirasi bagi banyak
orang, terkhususnya di kampus IAKN Kupang. Ini ditandai dengan beberapa rekan
dosen yang berinisiatif menulis buku tentang opa. Kami diundang untuk
menghadiri peluncuran buku tersebut. Ada satu momen yang menarik dalam acara
itu. Opa Zeth sedikit mengoreksi satu diksi yang dipakai oleh rekan dosen. Kata
yang dipakai adalah “penikmat sejarah”. Menurut opa Zeth, di kampus tidak ada
yang namanya “pembuat sejarah” dan “penikmat sejarah”. Semuanya berjuang untuk
membangun kampus IAKN Kupang menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Tentu
teman dosen yang memilih diksi tersebut juga tidak salah. Ia hanya mencoba menggambarkan
betapa dramatisnya perjuangan opa Zeth dan para pendiri kampus lainnya dalam
membangun Perguruan Tinggi Kristen Negeri di kota Kupang kala itu. Jelas opa
Zeth hanya mau menekankan bahwa kampus IAKN Kupang milik semua. Tidak boleh ada
yang merasa paling berjasa. Semua punya tanggungjawab untuk memajukan IAKN
Kupang.
Demikianlah beberapa puing kenangan dari saya tentang
opa Zeth yang masih tersisa. Mulai dari saya mahasiswa sampai menjadi rekan
sejawat opa. Secara tersirat opa tak pernah menunjukkan untuk minta dihargai,
entah sebagai pendiri atau petinggi kampus. Namun demikian, persona yang
memancarkan kharisma dari opa laksana magnet yang membawa banyak orang untuk
memberikan penghargaan kepadanya secara tulus. Saya pun menorehkan cerita sederhana ini
sebagai bentuk penghargaan kepada opa Zeth. Seperti kata pepatah “tak ada
gading yang tak retak”, demikian juga opa. Namun opa berhasil meninggalkan
nilai hidup yang berarti bagi kita yang masih menjadi peziarah dunia ini. Di masyarakat,
gereja dan negara diabdikannya kehidupan yang memberi contoh dan menjadikan
inspirasi bagi banyak orang.
Berbicara tentang kematian tak selamanya berarti akhir dari kehidupan, namun dapat diartikan sebagai bentuk refleksi untuk menghargai kehidupan bagi yang masih bernyawa di dunia ini. Orang yang mati tak bisa lagi dibangkitkan namun kenangan yang terkubur dapat kembali dibangkitkan. Orang baik perlu dikenang, entah apa dan bagaimana bentuknya. Tidak seperti kalimat dari Marcus Aurelius di awal, opa Zeth tak minta dikenang, namun menurut saya perlu untuk dikenang. Saya menutup in memorian ini dengan mengutip Amsal 10:7 “Kenangan kepada orang benar mendatangkan berkat, tetapi nama orang fasik menjadi busuk”. Kiranya Tuhan Sang Baik itu memampukan kita untuk menjadi berarti bagi banyak orang dan menginspirasi sekitar dengan karya dan pengabdian kita.
Komentar
Posting Komentar